APRESIASI BAHASA DAN SENI
PADA SUKU MENTAWAI
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
pada
mata kuliah Apresiasi Bahasa dan Seni
Dosen
Pengampu Asep Firdaus, M.Hum.
Kelompok 4
Dini Vidiani
Alamsyah 3131311040
Kinang
Darmaga Harahap 3131311039
Nurfitri 3131311034
Rani Nurwulan 3131311027
Siti Apipah 3131311030
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara leksikografis, kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris apreciation, yang berasal dari kata kerja to Apreciate, memiliki arti menghayati, menghargai dan menilai. Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiasi berarti kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala estetis dan artistik sehingga mampu menikmati dan menilai karya tersebut secara semestinya. Dalam apresiasi, seorang penghayat sebenarnya sedang mencari pengalaman estetis. Sehingga motivasi utama yang muncul dari diri penghayat seni adalah motivasi untuk mencari pengalaman estetis. Dalam kaitannya dengan apresiasi terhadap karya seni, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi apresiasi seseorang, yaitu : Kemauan dan minat; Sikap terbuk; Kebiasaan; Peka atau sensitif; dan Kondisi mentawai. Apresiasi bahasa dan seni di sini difokuskan kepada Suku Mentawai. Bagaimana kita sebagai manusia bisa melakukan apresiasi terhadap bahasa dan seni yang terdapat di suatu tempat yang masih natural, tradisional. Apresiasi di sini dapat berupa tahap penghayatan, penghargaan hingga penilaian. Oleh karena itu penulis ingin mengupas lebih dalam mengenai Apresiasi Bahasa dan Seni Pada Suku Mentawai dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Secara leksikografis, kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris apreciation, yang berasal dari kata kerja to Apreciate, memiliki arti menghayati, menghargai dan menilai. Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiasi berarti kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala estetis dan artistik sehingga mampu menikmati dan menilai karya tersebut secara semestinya. Dalam apresiasi, seorang penghayat sebenarnya sedang mencari pengalaman estetis. Sehingga motivasi utama yang muncul dari diri penghayat seni adalah motivasi untuk mencari pengalaman estetis. Dalam kaitannya dengan apresiasi terhadap karya seni, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi apresiasi seseorang, yaitu : Kemauan dan minat; Sikap terbuk; Kebiasaan; Peka atau sensitif; dan Kondisi mentawai. Apresiasi bahasa dan seni di sini difokuskan kepada Suku Mentawai. Bagaimana kita sebagai manusia bisa melakukan apresiasi terhadap bahasa dan seni yang terdapat di suatu tempat yang masih natural, tradisional. Apresiasi di sini dapat berupa tahap penghayatan, penghargaan hingga penilaian. Oleh karena itu penulis ingin mengupas lebih dalam mengenai Apresiasi Bahasa dan Seni Pada Suku Mentawai dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang ditemukan pada makalah ini sebagai berikut : Bagaimana awal mula sejarah Mentawai? Seperti apa bahasa yang digunakan
masyarakat Mentawai? Kesenian apa yang unik pada
masyarakat Mentawai? Bagaimana proses kesenian yang ada
di Mentawai? Apresiasi seperti apa yang perlu
dilakukan?
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah ini meliputi: Memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Apresiasi Bahasa dan Seni, Memahami mengenai Apresiasi Bahasa dan Seni, Memiliki pengetahuan mengenai Mentawai, Mampu melakukan apresiasi terhadap bahasa dan seni secara maksimal
BAB II
APRESIASI BAHASA DAN SENI PADA SUKU MENTAWAI
2.1 Sejarah Mentawi
Mentawai merupakan daerah kepulauan yang ditemukan di lepas pantai barat Sumatera (Indonesia) yang terdiri dari sekitar 70 pulau dan pulau. Pulau terbesar ada tiga, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai, dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau tersebut, pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sebanya90% adalah penduduk asli Mentawai, yang lain 10% dianggap terdiri dari Minangkabau, Jawa, dan Batak. Sejak era otonomi daerah, pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatra Barat. Jarak Kepulauan Mentawai dari Kota Padang kurang lebih 135 km melintasi Samudra Hindia yang luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu, transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca; apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat Kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi, kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana Kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai. Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya memunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai “cagar bioster”. Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak 1992. Arat Sabulungan adalah eksistensi budaya masyarakat Mentawai memiliki adat hidup yang diselenggarakan bersama oleh sebuah sistem kepercayaan yang membayar penghormatan kepada arwah nenek moyang mereka, langit, tanah, laut, sungai, dan segala sesuatu di dalamnya. Dipimpin oleh dukun (Sikerei), upacara ritual cukup umum. (Bakker, 1999).
2.2 Bahasa Mentawai
Bahasa Mentawai adalah bahasa yang dipakai oleh etnis Mentawai di kepulauan Mentawai, merupakan bahasa serumpun Austronesia yang penuturan bahasa tersebut ada di masyarakat Mentawai. Masyarakat penutur bahasa ini berjumlah sekitar 64.000 jiwa. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Nias di Kepulauan Nias juga berkerabat jauh dengan rumpun bahasa Batak. Klasifikasi bahasa Mentawai adalah Proto Malayo-Polynesian. Bahasa Mentawai dipakai dalam lingkungan keluarga, dengan orang Mentawai yang baru dikenal, diantara orang yang belum saling mengenal, dalam upacara adat dan keagamaan, hingga situasi resmi atau dinas. Ini disebabkan karena daerah ini terpencil jika dibandingkan dengan daerah lain di Sumatra Barat, daerah ini masih jauh terbelakang dalam segala bidang. Di sekolah dasar (SD) di kota kecamatan dan kampung-kampung, bahasa pengantar sampai kelas tiga adalah bahasa Mentawai. Mulai kelas empat secara resmi mulai digunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaannya. Bahasa Mentawai tetap dipakai sebagai bahasa pengantar disamping bahasa Indonesia sampai kelas enam. Tetapi bahasa Mentawai tidak diajarkan sebagai mata pelajaran di SD. Sastra lisan bahasa Mentawai adalah ‘pasikat’ (pantun) dan cerita rakyat yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat Mentawai. Selain itu juga ada mantera (kerei) dan jampi-jampi tetapi tidak sepopuler pantun karena mantera dan jampi-jampi hanya diajarkan kepada orang-orenag tertentu yang sengaja belajar secara khusus. Sampai sekarang tidak ditemui sastra tulis di Mentawai. Penerbitan-penerbitan buku juga belum ditemui kecuali beberapa kitab Injil dan buku-buku agama lainnya yang diterbitkan oleh missi Katolik.
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan pembuatan makalah ini meliputi: Memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Apresiasi Bahasa dan Seni, Memahami mengenai Apresiasi Bahasa dan Seni, Memiliki pengetahuan mengenai Mentawai, Mampu melakukan apresiasi terhadap bahasa dan seni secara maksimal
BAB II
APRESIASI BAHASA DAN SENI PADA SUKU MENTAWAI
2.1 Sejarah Mentawi
Mentawai merupakan daerah kepulauan yang ditemukan di lepas pantai barat Sumatera (Indonesia) yang terdiri dari sekitar 70 pulau dan pulau. Pulau terbesar ada tiga, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai, dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau tersebut, pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sebanya90% adalah penduduk asli Mentawai, yang lain 10% dianggap terdiri dari Minangkabau, Jawa, dan Batak. Sejak era otonomi daerah, pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatra Barat. Jarak Kepulauan Mentawai dari Kota Padang kurang lebih 135 km melintasi Samudra Hindia yang luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu, transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca; apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat Kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi, kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana Kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai. Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya memunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai “cagar bioster”. Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak 1992. Arat Sabulungan adalah eksistensi budaya masyarakat Mentawai memiliki adat hidup yang diselenggarakan bersama oleh sebuah sistem kepercayaan yang membayar penghormatan kepada arwah nenek moyang mereka, langit, tanah, laut, sungai, dan segala sesuatu di dalamnya. Dipimpin oleh dukun (Sikerei), upacara ritual cukup umum. (Bakker, 1999).
2.2 Bahasa Mentawai
Bahasa Mentawai adalah bahasa yang dipakai oleh etnis Mentawai di kepulauan Mentawai, merupakan bahasa serumpun Austronesia yang penuturan bahasa tersebut ada di masyarakat Mentawai. Masyarakat penutur bahasa ini berjumlah sekitar 64.000 jiwa. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Nias di Kepulauan Nias juga berkerabat jauh dengan rumpun bahasa Batak. Klasifikasi bahasa Mentawai adalah Proto Malayo-Polynesian. Bahasa Mentawai dipakai dalam lingkungan keluarga, dengan orang Mentawai yang baru dikenal, diantara orang yang belum saling mengenal, dalam upacara adat dan keagamaan, hingga situasi resmi atau dinas. Ini disebabkan karena daerah ini terpencil jika dibandingkan dengan daerah lain di Sumatra Barat, daerah ini masih jauh terbelakang dalam segala bidang. Di sekolah dasar (SD) di kota kecamatan dan kampung-kampung, bahasa pengantar sampai kelas tiga adalah bahasa Mentawai. Mulai kelas empat secara resmi mulai digunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaannya. Bahasa Mentawai tetap dipakai sebagai bahasa pengantar disamping bahasa Indonesia sampai kelas enam. Tetapi bahasa Mentawai tidak diajarkan sebagai mata pelajaran di SD. Sastra lisan bahasa Mentawai adalah ‘pasikat’ (pantun) dan cerita rakyat yang sangat populer dan digemari oleh masyarakat Mentawai. Selain itu juga ada mantera (kerei) dan jampi-jampi tetapi tidak sepopuler pantun karena mantera dan jampi-jampi hanya diajarkan kepada orang-orenag tertentu yang sengaja belajar secara khusus. Sampai sekarang tidak ditemui sastra tulis di Mentawai. Penerbitan-penerbitan buku juga belum ditemui kecuali beberapa kitab Injil dan buku-buku agama lainnya yang diterbitkan oleh missi Katolik.
Bahasa Indonesia
|
Nganga Mentawai
|
Halo / Apa Kabar
|
Anaileoita
|
Terima kasih
|
Masura Bagata
|
Sama-sama
|
Simakerek
|
Aku tidak tahu
|
Tak kuagai
|
Bapak / Ayah
|
Bajak
|
Berjalan-jalan
|
Menung / Mugejek
|
Aku Cinta Kamu
|
Kuobak Ekeu
|
Aku jatuh cinta
|
Aku belek obak
|
Maaf
|
Bojoik
|
Saya dari...
|
Aku bara...
|
Mau pergi kemana..?
|
Kaipa Nuei..??
|
Anda ingin rokok..?
|
Nuo bak ubek Nekne..??
|
Aku mau tidur
|
Anai aku merep
|
Siapa namamu..?
|
Kasei Onim..??
|
Namaku adalah...
|
Oning ku...
|
Belajar
|
Pasigelai
|
Pagi
|
Simancep
|
Siang
|
Sitagok
|
Malam
|
Sisoubok
|
Tatto
|
Titi
|
Bilangan dalam nganga (bahasa)
Mentawai:
Satu
|
sara
|
Enam
|
Enem
|
Dua
|
rua
|
Tujuh
|
Pitu
|
Tiga
|
telu
|
Delapan
|
Balu
|
Empat
|
Epat
|
Sembilan
|
Siba
|
Lima
|
Lima
|
Sepuluh
|
Pulu
|
2.3 Seni Mentawai
Salah satu
kesenian yang terkenal di Mentawai adalah seni tatto (titi). Seni merajah tubuh atau yang lebih dikenal dengan
tato merupakan tradisi dalam bentuk seni yang ada di suku Mentawai. Bahkan,
menurut penelitian, seni tato tertua yaitu berasal dari suku Mentawai. Suku
Mentawai sudah menato tubuh mereka sejak kedatangan mereka ke pantai barat
Sumatera pada zaman logam, 1500 SM-500 SM.
Proses pembuatan tato masyarakat
suku Mentawai
Bagi mereka, tato adalah roh kehidupan. Tidak hanya itu, lewat tato, mereka juga dapat menunjukan mata pencaharian serta status sosialnya di masyarakat. Sebagai contoh jika mereka berprofesi sebagai pemburu, maka tato yang digambar adalah binatang hasil buruannya. Tatto Mentawai memiliki fungsi seni, karena suku Mentawai menggambar sesuai kreativitasnya. Ada lima hal unik dari seni tatto buatan suku Mentawai, yaitu : 1. Tattoo Mentawai Dinobatkan Sebagai Seni Tatto Tertua Di Dunia Tato yang dibuat oleh masyaralat Kepulauan Mentawai ini dinobatkan sebagai tato yang memiliki umur paling tua di dunia. Keberadaan seni lukis di atas kulit ini lahir lebih dulu dibandingkan dengan tato Mesir yang baru dimulai 1300 SM. Menurut para peneliti “tato” di Indonesia, Tattoo Mentawai adalah yang tertua di dunia yang lebih dikenal dengan sebutan Titi. Bagi masyarakat Mentawai tatto merupakan roh kehidupan. 2. Tattoo memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam Dalam tradisi Mentawai, tattoo juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Bagi mereka objek seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di tubuh mereka. Mereka menganggap semua hal memiliki jiwa. 3. Membuat tattoo Mentawai harus melalui tiga tahap Membuat tattoo di Mentawai tidak semudah membuat tato di studio tattoo pada umumnya. Suku Mentawai melakukan tiga tahap dalam pembuatannya. Tahap pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan pentatoan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha. Tahap ketiga setelah dewasa. Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Dan dipastikan akan menimbulkan rasa sakit bahkan menyebabkan efek demam. 4. Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam Pembuatan tato pada Suku Mentawai tidak menggunakan mesin, alat yang digunakan masih tradisional menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu karai yang diruncingkan ujungnya serta pewarna terbuat dari campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa. Pigmen karbon alami dari serpihan-serpihan dari jelaga yang bisa didapatkan dari kayu ataupun bambu yang terbakar ataupun jelaga dari tungku pembakaran masakan (yang menggunakan kayu bakar tentu saja) yang dicampur dengan air perasan batang tebu. Kedua bahan tersebut dicampur dalam tempurung kelapa sebagai mangkok tinta tattoo yang kemudian dibawa ke seorang Sikerei (shaman/dukun adat) untuk memimpin ritual tattoo. 5. “Sipatiti” (artis tattoo) dibayar dengan seekor babi Sipatiti sebutan untuk sang pembuat tattoo. Di kota-kota besar pembuat tattoo dibayar dengan uang. Khusus di Mentawai, Sipatiti hanya dibayar menggunakan seekor babi. Sebelum tatto dilakukan, diatur upacara pertama dipimpin oleh Sikerei di Puturukat (galeri milik sipatiti). Tubuh sesorang yang akan ditattoo terlebih dulu digambar dengan tongkat. Sketsa pada tubuh kemudian ditusuk menggunakan jarum kayu dan dipukul perlahan-lahan dengan tongkat kayu untuk memasukkan pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang digunakan adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.
Bagi mereka, tato adalah roh kehidupan. Tidak hanya itu, lewat tato, mereka juga dapat menunjukan mata pencaharian serta status sosialnya di masyarakat. Sebagai contoh jika mereka berprofesi sebagai pemburu, maka tato yang digambar adalah binatang hasil buruannya. Tatto Mentawai memiliki fungsi seni, karena suku Mentawai menggambar sesuai kreativitasnya. Ada lima hal unik dari seni tatto buatan suku Mentawai, yaitu : 1. Tattoo Mentawai Dinobatkan Sebagai Seni Tatto Tertua Di Dunia Tato yang dibuat oleh masyaralat Kepulauan Mentawai ini dinobatkan sebagai tato yang memiliki umur paling tua di dunia. Keberadaan seni lukis di atas kulit ini lahir lebih dulu dibandingkan dengan tato Mesir yang baru dimulai 1300 SM. Menurut para peneliti “tato” di Indonesia, Tattoo Mentawai adalah yang tertua di dunia yang lebih dikenal dengan sebutan Titi. Bagi masyarakat Mentawai tatto merupakan roh kehidupan. 2. Tattoo memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam Dalam tradisi Mentawai, tattoo juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Bagi mereka objek seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di tubuh mereka. Mereka menganggap semua hal memiliki jiwa. 3. Membuat tattoo Mentawai harus melalui tiga tahap Membuat tattoo di Mentawai tidak semudah membuat tato di studio tattoo pada umumnya. Suku Mentawai melakukan tiga tahap dalam pembuatannya. Tahap pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan pentatoan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha. Tahap ketiga setelah dewasa. Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Dan dipastikan akan menimbulkan rasa sakit bahkan menyebabkan efek demam. 4. Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam Pembuatan tato pada Suku Mentawai tidak menggunakan mesin, alat yang digunakan masih tradisional menggunakan bahan-bahan alami, seperti kayu karai yang diruncingkan ujungnya serta pewarna terbuat dari campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa. Pigmen karbon alami dari serpihan-serpihan dari jelaga yang bisa didapatkan dari kayu ataupun bambu yang terbakar ataupun jelaga dari tungku pembakaran masakan (yang menggunakan kayu bakar tentu saja) yang dicampur dengan air perasan batang tebu. Kedua bahan tersebut dicampur dalam tempurung kelapa sebagai mangkok tinta tattoo yang kemudian dibawa ke seorang Sikerei (shaman/dukun adat) untuk memimpin ritual tattoo. 5. “Sipatiti” (artis tattoo) dibayar dengan seekor babi Sipatiti sebutan untuk sang pembuat tattoo. Di kota-kota besar pembuat tattoo dibayar dengan uang. Khusus di Mentawai, Sipatiti hanya dibayar menggunakan seekor babi. Sebelum tatto dilakukan, diatur upacara pertama dipimpin oleh Sikerei di Puturukat (galeri milik sipatiti). Tubuh sesorang yang akan ditattoo terlebih dulu digambar dengan tongkat. Sketsa pada tubuh kemudian ditusuk menggunakan jarum kayu dan dipukul perlahan-lahan dengan tongkat kayu untuk memasukkan pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang digunakan adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.
Gigi runcing perempuan Mentawai
Selain itu ada satu hal yang menjadi tradisi seni yang unik di suku Mentawai, yaitu gigi runcing. Tradisi seni ini biasanya ditujukan untuk para perempuan suku Mentawai. Gigi runcing merupakan simbol kecantikan dari perempuan suku ini. Semakin runcing gigi mereka, semakin cantiklah perempuan itu. Selain sebagai simbol kecantikan, tradisi seni mengukir gigi ini juga menjadi simbol keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Mereka percaya bahwa saat fajar menyingsing, tubuh manusia akan terpisah dengan roh atau jiwa.
Selain itu ada satu hal yang menjadi tradisi seni yang unik di suku Mentawai, yaitu gigi runcing. Tradisi seni ini biasanya ditujukan untuk para perempuan suku Mentawai. Gigi runcing merupakan simbol kecantikan dari perempuan suku ini. Semakin runcing gigi mereka, semakin cantiklah perempuan itu. Selain sebagai simbol kecantikan, tradisi seni mengukir gigi ini juga menjadi simbol keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Mereka percaya bahwa saat fajar menyingsing, tubuh manusia akan terpisah dengan roh atau jiwa.
Seiring perjalanan waktu, kesederhanaan dan tradisi seni unik
di suku Mentawai perlahan mulai hilang. Hal tersebut terjadi karena masuknya
pengaruh dari budaya luar. Saat ini, di suku Mentawai, dapat ditemukan
masyarakat yang mengenakan kaos. Begitu juga dengan tradisi seni mentato dan
meruncingkan gigi yang semakin ditinggalkan.
2.4 Rumah Adat Mentawai
Uma adalah nama untuk rumah tradisional suku Mentawai yang merupakan rumah adat dan banyak di jumpai di kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Uma dihuni secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik. Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei (dukun). Sikerei itulah yang dianggap suku Mentawai sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit. Uma juga berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Uma terbuat dari kayu kokoh dan berbentuk rumah panggung yang dibawahnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan ternak seperti babi. Bangunan uma menyerupai atap tenda memanjang yang dibangun diatas tiang-tiang, karena atap yang terbuat dari rumbia yang menaungi menjulur ke bawah sampai hampir mencapai lantai rumah. Pohon sagu atau rumbia merupakan bahan penutup atap dari daun daun pohon rumbia yang banyak tumbuh di rawa atau di pantai. Kelebihan menggunakan atap rumbia yaitu terlihat alami, menimbulkan suasana baru, ringan dan relatif murah. Sedangkan kekurangannya ialah daya tahan maksimal 4 tahun, sulit melakukan upaya perbaikan atau pergantian, dan rawan bocor bila terjadi hujan lebat. Kekuatan struktur Uma dihasilkan oleh teknik ikat, tusuk dan sambung sedemikian rupa. Bahan Uma diambil dari alam sekitar dan dipilih yang bermutu baik. Luas rumah persatuan kepala keluarga dengan rata-rata panjang : 31 m, lebar : 10 m, dan tinggi = 7 m. Pembagian ruangannya cukup sederhana, di bagian depan adalah serambi terbuka yang merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedang pada bagian dalam digunakan untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula perapian yang digunakan untuk memasak suatu keadaan yang wajar mengingat kegiatan siang hari bagi laki-laki dihabiskan di ladang atau di hutan, sementara istrinya bertugas di kebun halaman dan memasak.
Uma adalah nama untuk rumah tradisional suku Mentawai yang merupakan rumah adat dan banyak di jumpai di kabupaten Kepulauan Mentawai, provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Uma dihuni secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik. Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei (dukun). Sikerei itulah yang dianggap suku Mentawai sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit. Uma juga berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Uma terbuat dari kayu kokoh dan berbentuk rumah panggung yang dibawahnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan ternak seperti babi. Bangunan uma menyerupai atap tenda memanjang yang dibangun diatas tiang-tiang, karena atap yang terbuat dari rumbia yang menaungi menjulur ke bawah sampai hampir mencapai lantai rumah. Pohon sagu atau rumbia merupakan bahan penutup atap dari daun daun pohon rumbia yang banyak tumbuh di rawa atau di pantai. Kelebihan menggunakan atap rumbia yaitu terlihat alami, menimbulkan suasana baru, ringan dan relatif murah. Sedangkan kekurangannya ialah daya tahan maksimal 4 tahun, sulit melakukan upaya perbaikan atau pergantian, dan rawan bocor bila terjadi hujan lebat. Kekuatan struktur Uma dihasilkan oleh teknik ikat, tusuk dan sambung sedemikian rupa. Bahan Uma diambil dari alam sekitar dan dipilih yang bermutu baik. Luas rumah persatuan kepala keluarga dengan rata-rata panjang : 31 m, lebar : 10 m, dan tinggi = 7 m. Pembagian ruangannya cukup sederhana, di bagian depan adalah serambi terbuka yang merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedang pada bagian dalam digunakan untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula perapian yang digunakan untuk memasak suatu keadaan yang wajar mengingat kegiatan siang hari bagi laki-laki dihabiskan di ladang atau di hutan, sementara istrinya bertugas di kebun halaman dan memasak.
![]() |
|||
2.5 Keunikan Suku Mentawai
Terdapat banyak sekali keunikan yang ditemukan pada suku Mentawai. Salah satunya dalam konsep Arat Sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena itu orang Mentawai dikenal sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana. Upacara ritual seperti, melepas sampan ke sungai, mendirikan uma, mengobati orang sakit, dan pengangkatan sikerei atau tabib yang punen atau pestanya berlangsung hingga tiga bulan yang dipimpin oleh sikerei (dukun). Selain itu uma yang merupakan rumah adat suku Mentawai yang didiami oleh enam kepala keluarga ini pintu masuknya dihiasi puluhan tengkorak monyet dan rusa yang digantung bersamaan dengan hiasan kayu, dan hasil buruan kepala suku. Jarang sekali suku Mentawai mengisi perut mereka dengan nasi, karena nasi dianggap mahal. Mereka memakan sagu dan daging hasil buruan mereka, sehingga mereka sudah terlatih mengolah sagu dan berburu.
Terdapat banyak sekali keunikan yang ditemukan pada suku Mentawai. Salah satunya dalam konsep Arat Sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena itu orang Mentawai dikenal sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana. Upacara ritual seperti, melepas sampan ke sungai, mendirikan uma, mengobati orang sakit, dan pengangkatan sikerei atau tabib yang punen atau pestanya berlangsung hingga tiga bulan yang dipimpin oleh sikerei (dukun). Selain itu uma yang merupakan rumah adat suku Mentawai yang didiami oleh enam kepala keluarga ini pintu masuknya dihiasi puluhan tengkorak monyet dan rusa yang digantung bersamaan dengan hiasan kayu, dan hasil buruan kepala suku. Jarang sekali suku Mentawai mengisi perut mereka dengan nasi, karena nasi dianggap mahal. Mereka memakan sagu dan daging hasil buruan mereka, sehingga mereka sudah terlatih mengolah sagu dan berburu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam apresiasi, seorang penghayat
sebenarnya sedang mencari pengalaman estetis. Sehingga motivasi utama yang
muncul dari diri penghayat seni adalah motivasi untuk mencari pengalaman
estetis. Mengupas mengenai bahasa, seni, rumah adat yang terdapat di Mentawai
menuntun kita sebagai manusia untuk melakukan apresiasi, dari yang minimal
sebagai penghibur (hiburan) dan juga maksimal sebagai penilai.
Mentawai merupakan salah satu
kepulauan yang terletak di pulau Sumatera memiliki tiga pulau utama yaitu Pulau
Pagai (Utara dan Selatan), Siberut, dan Sipora. Masyarakat Mentawai memiliki
ciri khas baik dari segi bahasa, rumah adat (Uma), juga dalam hal seni melukis
tatto dan mengikir gigir agar runcing pada kaum perempuan Mentawai.
3.2 Saran
Sebagai
masyarakat Indonesia sudah sepantasnya mengapresiasi keragaman seni dan budaya
di Indonesia. Dengan mengenal Mentawai dan melakukan apresiasi terhadap bahasa
dan seni yang ada di dalamnya menjadikan kita berpikir dan bersyukur bahwa
Negeri Indonesia tercinta ini begitu kaya akan seni dan budayanya.
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan, untuk
itu adanya saran dan kritik bersifat konstruktif dari pembaca sangat diharapkan
untuk menyempurnakan makalah ini sekaligus sebagai bahan untuk pembuatan
makalah mendatang.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar