ANALISIS INTERTEKSTUALITAS PADA
DRAMA MALIN-THE END SCENE KARYA (M.S. NUGROHO)
DENGAN LEGENDA MALIN KUNDANG ANAK
DURHAKA
MAKALAH
Diajukan sebagai pengganti UAS mata kuliah Kajian Drama
Indonesia
dengan dosen pengampu David Setiadi, M.Hum.
Oleh
Siti Apipah
3131311030
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan
Pemilihan Korpus
Sastra sering dipersamakan dengan
bentuk-bentuk fisik seperti buku atau kitab yang berisi tulisan yang indah,
mendidik ataupun kitab-kitab pengajaran. Karya itu merupakan segala sesuatu
yang dihasilkan oleh manusia. Karya sastra itu sangat beragam dari mulai prosa,
puisi, dan drama. Dan seperti yang kita tahu bahwa emua itu merupakan seni
estetika yang mediumnya menggunakan Bahasa. Sebagai sebuah karya, drama pun
mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada suatu sisi dan
berdimensi seni pada sisi yang lain.
Pengarang sebelum memproduksi sebuah
karya sastra akan terlebih dahulu merespon sebuah karya yang telah ada
sebelumnya. Melalui karya terdahulu pengarang mempelajari serta memahami
gagasan yang tertuang dalam suatu karya tersebut yang kemudian
mentransformasikannya ke dalam suatu karya sendiri dengan menggunakan konsep
serta estetika sendiri. Seperti halnya pada lakon drama “Malin-The End Scene”
karya M.S Nugroho yaitu hasil transformasi dari “Legenda Malin Kundang Anak
Durhaka” yang di dalamnya memiliki inti cerita yang sama, akan tetapi dari
masing-masing cerita memiliki kisah akhir yang berbeda.
Lakon drama “Malin-The End Scene”
karya M.S Nugroho merupakan salah satu lakon drama yang diangkat dari sebuah
cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka”. Sebetulnya banyak sekali
teks transformasi dari “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” dengan berbagai
versi cerita. Akan tetapi, penulis lebih memilih “Malin-The End Scene” karya
M.S Nugroho karena “Malin-The End Scene” ini adalah sebuah lakon drama. Sesuai
dengan kajiannya, yaitu kajian drama dengan menggunakan pendekatan
intertekstual.
Seperti yang kita ketahui bahwa
intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks
lain, yang memiliki kesamaan cerita maupun perbedaan cerita. akan tetapi selalu
ada satu teks cerita yang jadi acuan atau yang terdahulu. Dalam menganalisis
teks yang melalui pendekatan intertekstual tentunya penulis harus berhati-hati
dalam memilih teks yang akan dianalisis. Karena dalam pendekatan intertekstual
akan ada yang disebut teks hipogram atau teks terdahulu kemudian teks transformasi yaitu teks kekinian yang
memiliki kesamaan cerita, maupun perbedaan cerita serta memiliki hubungan atau
keterkaitan di dalamnya meskipun telah ada perubahan dalam teks
transformasinya.
Mengenai alasan penulis memilih
“Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho dan cerita rakyat “Legenda Malin
Kundang Anak Durhaka”, karena dua teks tersebut memiliki persamaan cerita serta
hubungan di dalam ceritanya. Selain dari hal tersebut, dari dua teks tersebut
merupakan teks hipogram dan teks transformasi. “Legenda Malin Kundang Anak
Durhaka” merupakan teks hipogramnya dan lakon drama “Malin-The End Scene”
merupakan teks transformasinya.
1.2 Pengarang
dan Karyanya
Mengingat cerita rakyat “Legenda
Malin Kundang Anak Durhaka” merupakan sebuah cerita rakyat yang berkembang dari
mulut ke mulut, jadi penulis tidak menemukan biografi pengarang legenda Malin Kundang Anak Durhaka
tersebut. Meskipun banyak versi cerita mengenai legenda Malin Kundang ini akan
tetapi penulis lebih memilih versi lama yang dikutip dari buku kumpulan cerita
rakyat Legenda Batu Malin Kundang yang
ditulis kembali oleh Yustitia Angelia dan diterbitkan Bintang Indonesia Jakarta. Dan biografi yang menuliskan kembali
legenda ini pun tidak dicantumkan dalam buku tersebut.
Adapun pengarang lakon drama
“Malin-The End Scene” bernama M. S.
Nugroho. Lahir di Jombang, pada 24 April 1970. Alamat di Jalan A. Yani 110
Dusun Mojolegi RT 07 RW 02, Dukuhmojo, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Alamat
Kantor : SMP Negeri 3 Peterongan Di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan
Jombang Jawa Timur. Kuliah di Jurusan Pendididikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Malang, 1995.
Pengalaman, Menyutradarai dan atau
bermain drama antara lain: “Wakuncar dan Kusir Delman” M.S.Nugroho, “Burung itu
Bukan Milikmu” M.S.Nugroho; “Tali-tali” M.S.Nugroho, “Raja Toba” M.S. Nugroho
(1988/ 1989); “Wah” Putu Wijaya (1990), “Oidipus sang Raja” Sophocles (1992),
“Sumur tanpa Dasar” Arifin C. Noer (1992 dan 1993), “Bila Malam Bertambah
Malam” Putu Wijaya (1993), “Aum” Putu Wijaya (1993), “The Valiant” Hollsworthy
Hall & Midlemans (1993), “Rick dari Corona” Rendra (1993), “Surup”
M.S.Nugroho (1996) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Prestasi penghargaan yang pernah
diraih: 1983 Wakil Mojoagung dalam pemilihan siswa teladan, bidang studi IPA,
cerdas. cermat P4, dan lomba lukis di kabupaten Jombang; 1984 Juara II Lomba
lukis Porseni kabupaten Jombang; 1987 Juara III Lomba lukis hari Pahlawan; 1988
10 besar lomba drama Porseni Provinsi Jawa Timur; Juara Umum Festival Drama
oleh STKIP PGRI Jombang; 1989 Sutradara Terbaik dan Juara Umum Lomba Drama Lima
Kota oleh Kelbin Terbang dan Fakta; Juara II lomba lukis kabupaten Jombang;
1990 Juara I lomba lukis di kabupaten Jombang dan sekitarnya; Juara II lomba
baca puisi di kabupaten Jombang dan sekitarnya; Juara II lomba cipta puisi dan
10 besar baca puisi di Malang dan sekitarnya; 1993 Juara umum, sutradara
terbaik, aktor terbaik, kelompok teater terbaik Festival; Teater se-Jombang
oleh STKIP PGRI Jombang; 1996 Juara I Lomba Lukis Dewasa tingkat provinsi dalam
Kegiatan MTQ Jawa Timur XVII; 2007 Pemenang Penulis Naskah Terpilih dalam Lomba
Penulisan Naskah Fragmen Budi Pekerti oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Jawa Timur, judul naskah: “Wakuncar dan Kusir Delman” dipentaskan oleh
Blasom Art Community Theater Kabupaten Sampang; 2008 Juara III dan Nominator
Lomba Penulisan Naskah Teater Remaja 2008 oleh Taman Budaya Provinsi Jawa
Timur; Juara Favorit Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2008 tingkat nasional
oleh Selsun Golden Award; 2010 Juara Harapan I Lomba Cerita Pendek Berdasarkan
Cerita Panji Dewan Kesenian Jawa Timur kerjasama Dewan Kesenian Jombang, Judul
Cerpen “Jago Untuk Presiden”; Juara
Harapan Utama Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2010 tingkat nasional oleh
Selsun Golden Award, Judul Cerpen “Entrupi Jaka Bayawak”; dan 2011 5 Sutradara
Terbaik Non Ranking Pekan Seni Pelajar SMP Tingkat Provinsi Jawa Timur.
Selain prestasi-prestasi yang telah
disebutkan di atas, berikut karya-karya tulis yang pernah diciptakan M.S
Nugroho: Cerita pendek “Monolog Malam” dimuat dalam antologi Kopiah dan
Kunfayakun dengan kata pengantar Ahmad Tohari, penerbit Gita Nagari Yogyakarta,
2003; Cerita pendek “Presiden Panji Laras” dimuat dalam antologi cerpen Jejak
Sketsa Langit penerbit Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2008; Presiden Panji
Laras kumpulan cerpennya diterbitkan Kelompok Studi Jalan, Kata Pengantar R.
Giryadi, 2010; Drama “Malin-End The Scene” dan “Wewe Gombel” dimuat dalam
kumpulan Dewa Mabuk, Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010; Cerpen “Pertemuan Sunyi”
dimuat dalam Hujan Sunyi Banaspati oleh Dewan Kesenian Jombang 2010; dan Dansa
Angin kumpulan puisinya diterbitkan Kelompok Studi Jalan, 2012.
1.3 Landasan
Teoretis
Dalam mengkaji sebuah sastra
hendaknya mengetahui serta memahami teorinya terlebih dahulu, sebagai dasar
atau sumber acuan dalam proses pengkajiannya. Pada dasarnya unsur-unsur dalam
drama tidaklah jauh berbeda denga unsur-unsur pada prosa fiksi. Unsur-unsur
tersebut adalah plot atau
alur, tokoh atau karakter, dialog, latar atau setting serta tema.
1.3.1
Teori Struktural dalam Mengkaji Drama
Kajian drama dengan menggunakan
pendekatan intertekstual terdapat struktur analisis yaitu analisis sintaksis,
semantik dan pragmatik. Analisis sintaksis meliputi alur dan pengaluran,
analisis semantik meliputi tokoh dan penokohan, latar dan tema. Kemudian
analisis pragmatik di dalamnya meliputi sudut pandang pengarang.
1. Plot
atau Alur
Plot
atau alur merupakan jalinan cerita atau jalinan konflik tokoh dari awal hingga
akhir dalam perjalanan konfliknya selalu berada dalam hubungan sebab akibat.
Seperti bentuk-bentuk sastra lainnya, cerita drama pun harus bergerak dari permulaan, melalui bagian tengah, dan menuju akhir. Dalam drama bagian-bagian ini dikenal sebagai eksposisi (awal cerita dan juga awal
konflik), komplikasi (pengembangan
konflik) pengarang dapat menggunakan teknik flash-back
atau sorot balik untuk memperlihatkan masa lalu sang tokoh utama dan yang
terakhir resolusi atau denoument merupakan tahap akhir dalam
sebuah cerita. titik yang memisahkan antara komplikasi dan resolusi disebut klimaks pada klimaks terjadi perubahan
penting mengenai nasib sang tokoh. (Kosasih, 2008:84).
2. Tokoh
Menurut Aminuddin (2013:79) tokoh
atau pelaku adalah yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. (Kosasih, 2008:84) berpendapat bahwa
tokoh-tokoh drama diklasifikasi menjadi empat kelompok sebagai berikut:
1) Tokoh Gagal atau Tokoh Badut (The Foil)
Tokoh ini mempunyai pendirian yang
bertentangan dengan tokoh lain. Kehadirannya berfungsi untuk menegaskan tokoh
lain.
2) Tokoh Idaman (The Type Character)
Tokoh ini berperan sebagai pahlawan
dengan karakternya yang gagah, adil atau terpuji.
3) Tokoh Statis (The Static Character)
Tokoh ini memiliki peran yang tetap
sama, tanpa perubahan, mulai dari awal hingga akhir.
4) Tokoh yang Berkembang
Tokoh ini mengalami perkembangan
selama cerita berlangsung.
3. Dialog
Menurut (Kosasih, 2008:85) dalam
drama, percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan. Yaitu:
1) Dialog harus turut menunjang gerak
laku tokohnya. Dialog haruslah digunakan untuk mencerminkan apa yang telah
terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama
cerita berlangsung, dan dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta
perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.
2) Dialog yang diucapkan di atas pentas
harus lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang
harus terbuang begitu saja. Para tokoh harus berbicara dengan jelas dan tepat
sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.
4. Latar
atau Setting
Menurut Aminuddin (2013:67) setting adalah latar, baik berupa
tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal (tempat) dan
fungsi psikologis (suasana, sikap dan jalan fikiran masyarakat tertentu). Setting biasanya meliputi tempat, ruang,
waktu, dan situasi. Jika dalam pentas drama biasanya setting akan ditampilkan lebih konkret lewat perlengkapan.
5. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu
cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakan. (Aminuddin, 2013:91) Tema merupakan gagasan
pokok atau yang terkandung dalam sebuah teks drama. Tema seringkali disebut
pula sebagai lakon dalam drama.
6. Sudut
Pandang Pengarang
Sudut pandang merupakan cara
pengarang menghadirkan tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi
tertentu. Sudut pandang pengarang terbagi menjadi dua yaitu:
1. Intern (pengarang berada di dalam
cerita), tokoh yang digunakannya “Aku”.
2. Ekstern (pengarang di luar cerita),
menggunakan nama tokoh atau dia.
1.3.2
Intertekstual
Secara luas interekstual diartikan
sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Kajian
intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir
dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan
tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan
yang ditulis sebelumnya. Kajian
intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra),
yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan
adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot,
penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara
khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek
tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul
lebih kemudian. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interekstual tidak terbatas
sebagai persamaan genre, intereks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya
bagi peneliti untuk menemukan hypogram.
Hutomo (Sudikan,
2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat,
ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra
pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya.
1.3.3
Struktural
Sebuah karya sastra menurut kaum
strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh
berbagai unsur (pembangun-nya). Di satu pihak struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang
menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah, Abram
(Nurgiyanto, 2002:36). Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan dideskripsikan,
misalnya bagaimana keadaan peristiwa, tokoh, dan latar dalam sebuah teks.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur
yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur yang dimaksud adalah plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Staton (Susanto, 2012:131).
Mengemukakan bahwa plot dipandang sebagai tulang punggung cerita sebab alur
bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur-unsur yang lain. Alur
atau plot menurutnya harus jadi bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Istilah tokoh oleh Robert Stanton
(Susanto, 2012:132). Tokoh memiliki beberapa cara pemakaian yang berbeda.
Pertama, tokoh digunakan untuk menunjukkan pada orang-orang yang yang terdapat
dalam cerita. Kedua, untuk menjelaskan bagaimana lukisan atau gambaran
watak-watak dari para tokoh tersebut.
1.4 Rumusan
Masalah
Dalam
penelitian ini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur teks cerita
“Legenda Malin Kundang Anak Durhaka”?
2. Bagaimana struktur lakon drama
“Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho?
3. Bagaimana jenis transformasi dalam
drama “Malin-The End Scene” Karya M.S. Nugroho?
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERITA “LEGENDA
MALIN KUNDANG ANAK DURHAKA”
1.1 Analisis
Sintaksis
Analisis sintaksis merupakan
analisis alur dan pengaluran yang dapat memperjelas bagian dalam cerita. Adapun analisis sintaksis pada
legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” yang merupakan teks hipogram atau teks
terdahulunya dapat dilihat dari paparan berikut ini:
2.1.1
Analisis Alur dan Pengaluran
Untuk mengetahui alur dalam cerita
rakyat “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” ini, penulis akan melakukan
analisis dengan menggunakan fungsi utama. Fungsi utamanya sebagai berikut:
1. Penggambaran kehidupan keluarga
kecil Mande Rubayah.
2. Mande Rubayah memiliki seorang anak
laki-laki yang diberi nama Malin Kundang.
3. Malin diajarkan melaut oleh ayahnya.
4. Suami Mande Rubayah pergi melaut.
5. Malin terserang penyakit yang
mematikan.
6. Kekahawatiran Mande Rubayah karena
suaminya tak kunjung pulang.
7. Kebahagiaan Mande Rubayah karena
penyakit Malin dapat disembuhkan.
8. Untuk mempertahankan hidupnya Mande
Rubayah berjualan kue.
9. Malin meminta ijin pada ibunya untuk
merantau.
10. Malin bekerja sebagai awak kapal
dagang.
11. Malin diangkat anak oleh nakhoda
tempat ia bekerja.
12. Pernikahan Malin dengan puteri
saudagar kaya.
13. Harapan Mande Rubayah agar Malin
segera pulang.
14. Kedatangan Malin ke kampung halaman
Malin.
15. Kebahagiaan mande Rubayah saat
bertemu Malin.
16. Malin mencaci maki Mande Rubayah
karena tak mau mengakuinya sebagai ibu kandung.
17. Mande Rubayah berdo’a dan mengutuk
Malin.
18. Semua orang meninggalkan pantai Air
Manis.
19. Badai yang menghantam kapal Malin
dan rombongannya.
20. Penyesalan Malin yang tak berarti.
21. Malin beserta kapal yang
ditumpanginya berubah wujud menjadi batu.
22. Suka terdengar dari batu jeritan
manusia yang meminta tolong.
Cerita di awalali dengan deskripsi
penggambaran kehidupan Mande Rubayah di Pantai Air Manis (f.1). kemudian Mande
Rubayah dan suaminya dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama
Malin Kundang (f.2). Ayah malin selalu mengajarkan Malin melaut dengan harapan
supaya menjadi pelaut yang ulung (f.3). Lalu suatu hari suami Mande Rubayah
pergi melaut akan tetapi Mande Rubayah merasa ragu atas kepergian suaminya kali
ini (f.4).
Setelah kepergian suaminya tiba-tiba
kampung itu terserang penyakit yang mematikan Malin Kundang termasuk salah
satunya yang terkena penyakit tersebut (f.5). Mande Rubayah semakin merasa
khawatir karena sudah beberapa pekan dari kepergiannya akan tetapi suaminya tak
jua kunjung pulang (f.6). Akan tetapi di sisi lain Mande Rubayah merasa bahagia
karena penyakit Malin Kundang bisa disembuhkan (f.7). Karena suaminya tak
kunjung pulang Mande Rubayah berjualan kue untuk mempertahankan hidupnya (f.8).
Tak terasa Malin pun sudah dewasa dan meminta ijin kepada ibunya untuk pergi
merantau (f.9). Setelah ibunya memberi ijin Malin pun pergi merantau dan
bekerja sebagai awak kapal dagang (f.10). Karena Malin bekerja dengan
sungguh-sungguh dan selalu bersikap baik akhirnya Malin diangkat anak oleh
nakhoda kapal tempat ia bekerja (f.11). Akhirnya Malin Kundang pun sukses dan
menikah dengan seorang putri saudagar kaya raya (f.12). Dan Mande Rubayah
selalu berdoa dan terus berharap agar anaknya bisa pulang (f.13). Akhirnya
Malin Kundang datang ke kampung halamannya (f.14). Mendengar hal itu Mande
Rubayah sangat bahagia (f.15). akan tetapi Malin mencaci maki Mande Rubayah dan
tidak mau mengakuinya sebagai ibu kandung (f.16).
Kemudian Mande Rubayah berdo’a dan
mengutuk Malin Kundang (f.17). Semua orang merinding mendengar kata-kata Mande
Rubayah, lalu pergi meninggalkan Pantai Air Manis (f.18). Tiba-tiba pada saat
perjalanan pulang badai datang menghantam kapal yang ditumpangi Malin beserta
rombongannya (f.19). Malin menyesali perbuatannya akan tetapi penyesalan itu
tiadalah berarti (f.20). Malin beserta kapal yang ia tumpangi berubah wujud
menjadi batu (f.21). Dari batu yang berbentuk manusia itu terkadang suka
terdengar longlongan jerit manusia (f.22).
BAGAN FUNGSI UTAMA
|
|
Berdasarkan bagan tersebut dapatlah diketahui alur cerita
“Malin Kundang Anak Durhaka” adalah alur mundur seperti terlihat pada f.1
hingga f.21 panahnya menunjuk sama yakni dari f.1 ke f.2, f.2 ke f.3 dan
seterusnya hingga akhir. Mengenai f.22 yang penulis tulis berdekatan dengan f.1
karena ceritanya kembali ke semula yakni ke awal mula cerita.
1.2 Analisis Semantik
Analisis semantik merupakan analisis yang di
dalamnya meliputi; analisis tokoh dan penokohan, analisis latar dan tema.
Dengan adanya analisis semantik tersebut maka cerita akan semakin padu. Berikut
di bawah ini penjelasannya
2.2.1
Analisis Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah
karya sastra. Adapun tokoh dalam cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Si Anak
Durhaka” adalah Malin Kundang, Mande Rubayah, Suami Mande Rubayah, Putri istri
Malin Kundang, Nakhoda, Burhan dan istrinya. Tokoh yang sangat dominan
diceritakan adalah tokoh Malin Kundang yang merupakan tokoh utama. Berikut ini
penjelasannya:
1. Malin Kundang
Tokoh
Malin ini merupakan sosok pemuda yang ramah, tekun dalam meraih keinginannya,
penyayang, akan tetapi hanya karena harta dan memiliki istri anak bangsawan
sehingga ia tega tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri dan menjadi anak
durhaka. dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
Ia seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Hasil tangkapan
ikannya jauh melebihi teman-teman lainnya.
Malin Kundang sangat sayang kepada ibunya. Ia juga dikenal
sebagai anak muda yang ramah, tidak sombong sehingga banyak disukai
teman-temannya.
Karena rajin dan cerdas ia disayang oleh sang nakhoda. Tak
jarang jika waktu luang ia membantu keperluan pribadi sang nakhoda. Ia juga
bersedia memijat sang nakhoda jika sedang kelelahan.
Rupanya pijatan Malin terasa enak di badan sang nakhoda.
Malin menjadi kesayangan sang nakhoda. Walau demikian Malin tidak
bermalas-malasan, apa yang harusnya ia kerjakan ia kerjakan di kapal itu tanpa
harus menunggu perintah sang nakhoda.
Mengangkut barang-barang berat tidak menjadi masalah
baginya.
Lama kelamaan sang nakhoda yang tak punya anak itu
menganggap Malin sebagai anaknya sendiri. (Angelia: 4)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa Malin Kundang itu sebenarnya sosok yang
ramah, cerdas, sangat menyayangi ibunya dan rajin. Akan tetapi hanya karena
kekayaan dan mendapat istri seorang putri dari saudagar kaya sehingga ia lupa
pada ibunya dan tidak mau mengakui ibunya sendiri dan menjadi anak durhaka.
Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
Malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri
seorang bangsawan kaya raya.
Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang
cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa
kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakana ibumu
adalah seorang bangsawan sederajat dengan kami?”
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita
itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada
perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambal berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku
ini ibumu, Nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya pikirannya
kacau karena perkataan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak
akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak
memeluk kakinya, Malin menendangnya sambal berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku
tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”
(Angelia: 6,7)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa sosok Malin kundang durhaka hanya karena
merasa malu oleh istrinya, memiliki ibu yang miskin.
2. Mande Rubayah
Merupakan
sosok ibu yang baik dan sangat menyayangi anaknya, ketika suaminya pergi
meninggalkannya ia banting tulang mencari nafkah supaya bisa menghidupi anaknya
Malin. Dan ketika Malin pergi merantau ia selalu mendo’akan serta selalu
mengharap kepulangan Malin. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
Dengan sebisa-bisanya ia berusaha mengobati Malin. Ia
datangkan tabib terkenal untuk mengobati anaknya.
Karena tak ketahuan berita suaminya lagi, maka Mande Rubayah
membanting tulang dengan berjulan kue. Setiap hari ia menjajakan ku ke kampung-kampung. Hasilnya lumayan juga, cukup
untuk dimakan ia dan anaknya yang sudah yatim.
Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya
berdebar-debar.
Ia menengadahkan kedua tangannya ke atas sembari berdo’a
agar anaknya selamat dalam pelayaran.
Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan
kabar tentang anaknya.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari teman yang
pernah merantau ke Malaka, bawa sekarang Malin telah menikah dengan seorang
gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar
kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali
menjenguknya. (Angelia: 5,6)
Berdasarkan
kutipan di atas dapatlah diketahui bahwa sosok Mande Rubayah adalah seorang ibu
yang sangat baik, dan sangat menyayangi anaknya. Akan tetapi karena merasa
sakit hati oleh sang anak maka Mande Rubayah mengutuk anaknya sendiri. Seperti
tampak pada kutipan di bawah ini:
Tiba-tiba Mande Rubayah mampu berdiri tegak. Entah kekuatan
apa yang menyertainya. Sepasang matanya bekilat-kilat, ketika bicara suaranya
terdengar lantang.
“Tetapi anak muda …! Jika kau adalah anakku yang ku beri
nama Malin Kundang, yang ku kandung selama Sembilan bulan sepuluh hari. Dan ku
besarkan dengan cucuran air susuku, maka terkutuklah engkau!”
Semua orang kaget mendengar ucapan wanita renta ini. wanita
tua ini kemudian bersimpuh di atas tanah, dengan bersungguh-sungguh ia berdo’a,
“Ya Allah Ya Tuhankku, Engkau lebih tahu hukuman apa yang harus Kau berikan
kepada anak durhaka ini! anak yang telah mencaci maki ibunya sendiri! Menghina
ibu kandung di hadapan istrinya dan orang banyak! Ya Allah tunjukanlah
kebesaran-Mu. (Angelia: 8)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa sosok seorang ibu yang merasa sakit hati
karena perlakuan anaknya sehingga ia berani mengutuk anaknya.
3. Suami Mande Rubayah
Tidak ada
deskripsi khusus mengenai suami Mande Rubayah, akan tetapi sosok suami Mande
Rubayah adalah sosok yang sangat menyayangi keluarga kecilnya itu dan sosok
suami yang bertanggung jawab dengan mencari nafkah hingga jadi nelayan. Berikut
di bawah ini kutipannya:
Di tempat itu suami Mande Rubayah merubah mata pencaharian,
dari tukang perambah hasil hutan sekarang menjadi nelayan ikan. Mereka
bersyukur karena rejeki datang dengan lancar, hidup mereka tidak lagi sesulit
ketika berada di pedalaman.
Pada suatu hari ayahnya pamit berangkat melaut.
“Malin Kundang! Ayah berangkat, hati-hati dirumah bersama
Ibu, jangan nakal ya,!” kata sang ayah.
“Ya Ayah, Malin akan baik-baik saja bersama ibu.” Jawab sang
anak.
“Istriku… aku berangkat. Jaga Malin baik-baik!”
“Jangan kuatir suamiku, aku akan menjaga anak kita
satu-satunya ini dengan jiwa ragaku. Berangkatlah suamiku, do’a kami berdua
menyertaimu.” Kata Mande Rubayah. (Angelia: 1)
Berdasarkan
kutipan tersebut dapatlah diketahui bahwa watak suami Mande Rubayah itu
bertanggung jawab terhadap keluarga dan sangat sayang terhadap keluarganya.
4. Putri istri Malin Kundang
Tokoh
putri ini memiliki watak yang kurang baik, yang tidak bisa menghargai orang
yang tidak sederajat dengan keluarganya seperti kepada ibu malin. Berikut di
bawah ini kutipannya:
istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih!
Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakana ibumu
adalah seorang bangsawan sederajat dengan kami?” (Angelia: 7)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui watak tokoh putri yang tidak bisa menghargai
ibunya Malin. Hal itu terjadi mungkin karena Malin telah berbohong mengenai
keadaan keluarganya yang sebenarnya.
5. Nakhoda
Tokoh
Nakhoda merupakan sosok lelaki tua yang baik dan tidak memiliki anak yang
sangat menyayangi Malin. Berikut kutipannya:
Malin menjadi kesayangan sang nakhoda. Walau demikian Malin
tidak bermalas-malasan, apa yang harusnya ia kerjakan ia kerjakan di kapal itu
tanpa harus menunggu perintah sang nakhoda.
Mengangkut barang-barang berat tidak menjadi masalah
baginya.
Lama kelamaan sang nakhoda yang tak punya anak itu
menganggap Malin sebagai anaknya sendiri.
Malin diajari tata cara mengemudikan kapal. Ia juga diajari
cara berdagang, membawa barang-barang langka dari suatu pulau kemudian dijual
di pulau lain dengan harga mahal.
Ketika sang nakhoda berusia lanjut, Malin diangkat sebagai
penggantinya. (Angelia: 5)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa watak tokoh nakhoda itu baik dan
penyayang.
6. Burhan dan istrinya
Tokoh
Burhan dan istrinya ini merupakan tokoh yang baik dan menyayangi Mande Rubayah
ibu Malin, selain itu juga Burhan merupakan teman malin. Akan tetapi Burhan
sangat menghargai Mande Rubayah. Seperti dalam kutipan di bawah ini:
Burhan dan istrinya yang merupakan teman Malin semenjak
kecil segera mendatangi Mande Rubayah. Mereka memapah Mande Rubayah dengan berjalan
tertatih-tatih menuju tepi pantai.
Mande Rubayah yang barusan terkapar dengan susah payah
dibantu istri Burhan segera bangkit, “Malin…benarkah kau sudah lupa pada aku
ibumu Mande Rubayah? Aku ibu kandungmu Malin!.” (Angelia: 7)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa Burhan adalah sosok yang baik dan sangat
menghargai Mande Rubayah ibu Malin Kundang.
2.2.2
Latar
Latar merupakan segala sesuatu yang
melingkup dalam suatu cerita baik berupa tempat, waktu, suasana maupun
peristiwa dari suatu cerita. Dari cerita tersebut penulis menemukan beberapa
latar meskipun tidak diuraikan secara jelas diantaranya sebagai berikut:
1. Latar Tempat
Sebenarnya
tidak banyak latar tempat yang diuraikan secara jelas dalam cerita ini hanya
ada beberapa latar tempat diantaranya di Tepi Pantai. Untuk lebih jelasnya
berikut kutipannya:
… Seringkali ia duduk di tepi pantai sambil merenung.
“Kalau aku
tetap di sini nasibku akan tetap begini.” Demikian pikir Malin Kundang. “Aku
tak ingin nasibku tetap seperti ini, Emakku sudah tua. Sebagai seorang anak aku
belum pernah berbuat sesuatu untuk menyenangkan hatinya. (Angelia: 3)
Berdasarkan kutipan di atas dapatlah
diketahui bahwa latar tempatnya berada di tepi pantai. Selain latar tempat di
tepi pantai ada juga latar tempat di kapal berikut di bawah ini kutipannya:
“Betul kau mau bekerja apa saja di kapal ini?” “Betul
tuan!” Mulai
saat itu Malin bekerja sebagai awak kapal dagang. Mula-mula ia bekerja sebagai
tukang pembersih geladak kapal. (Angelia: 4)
Berdasarkan kutipan tersebut
jelaslah bahwa latar tempatnya adalah dalam sebuah kapal laut. Latar tempat yang selanjutnya
adalah di rumah berikut kutipannya:
“Mande Rubayah yang sudah tua renta terbaring sakit di
rumahnya. Burhan dan istrinya yang merupakan teman Malin semenjak kecil segera
mendatangi Mande Rubayah”. (Angelia: 6)
Berdasarkan kutipan di atas dapat
diketahui bahwa latar tempat tersebut berada di rumah. Dan latar tempat
terakhir yaitu kapal pesiar milik Malin Kundang seperti pada kutipan di bawah
ini:
“Di dalam kapal pesiar yang mewah, Malin Kundang Nampak
gelisah. Bagaimanapun ia tak bisa membohongi diri sendiri. Ia ngeri
membayangkan kutukan ibunya”. (Angelia: 8)
Berdasarkan kutipan tersebut
menjelaskan bahwa latar tempatnya berada di kapal pesiar.
2. Latar Waktu
Tak banyak
dijelaskan latar waktu yang terdapat dalam cerita tersebut. Penulis hanya
menemukan latar waktu pagi dan sore seperti pada kutipan di bawah ini:
Sementara itu, hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande
Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia
bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? (Angelia: 5)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar waktunya pagi dan sore.
3. Latar Suasana
Suasana
yang tergambar dalam cerita tersebut adalah mengharukan dan menyedihkan apalagi
pada saat Malin Kundang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri dan tega
mendorong serta menendang ibu kandungnya, seperti terlihat pada kutipan di
bawah ini:
Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin
menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau!
Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Burhan dan istrinya hampir
tak percaya melihat kejadian itu. (Angelia: 7)
Berdasarkan
kutipan di atas dapat di ketahui bahwa latar suasana yang terdapat dari cerita
tersebut adalah sedih dan haru.
2.2.3
Tema
Tema yang terdapat dalam legenda
“Malin Kundang Anak Durhaka” adalah tentang kedurhakaan seorang anak terhadap
ibunya. Serta kesedihan seorang ibu karena kasih sayang serta pengorbanan yang
ia berikan tidak dihiraukan oleh anak kandungnya sendiri, sehingga membuat ia
marah dan mengutuk anaknya sendiri.
2.3 Analisis Pragmatik
Analisis pragmatik merupakan sebuah analisis
mengenai sudut pandang atau point of view. Yang di dalamnya membahas
mengenai kehadiran pencerita/pengarang baik itu yang intern (pengarang berada
dalam cerita) ataupun ekstern (pengarang hanya jadi pencerita saja). Berikut
ini penjelasannya.
2.3.1
Sudut Pandang
Dalam legenda “Malin Kundang Anak
Durhaka” sudut pandang atau point of view
yang digunakan adalah ekstern atau pengarang berada di luar cerita. Hal
tersebut terbukti dengan nama tokoh yang digunakan dalam cerita tersebut dan
bukan menggunakan tokoh aku. Berikut di bawah ini kutipannya:
Dahulu kala di Padang Sumatra Barat tepatnya di Perkampungan
Pantai Air Manis ada seorang wanita bernama Mande Rubayah.
Sebelumnya Mande Rubayah hidup bersama suaminya di
pedalaman. Tetapi hidup mereka di sana kurang beruntung. Agar dapat merubah
nasibnya mereka kemudian pindah ke perkampungan nelayan di tepi pantai.
(Angelia: 1)
Berdasarkan kutipan di atas
terlihatlah bahwa sudut pandang yang digunakan adalah ekstern karena pengarang
berada di luar cerita. Selain hal tersebut juga berhubung cerita tersebut
adalah legenda yang berkembang dari mulut ke mulut jadi sudah pasti pengarang
berada di luar cerita dan menggunakan nama tokoh.
BAB III
ANALISIS STRUKTUR LAKON DRAMA
“MALIN-THE END SCENE” KARYA M.S.
NUGROHO
1.1 Analisis Sintaksis
Analisis sintaksis merupakan analisis alur dan pengaluran
yang dapat memperjelas bagian dalam cerita. Analisis struktur lakon drama
“Malin-The End Scene” Kaerya M.S Nugrogo yang merupakan teks transformasinya.
3.1.1 Analisis Alur dan Pengaluran
Untuk mengetahui alur yang terdapat dalam
drama “Malin-The End Scene” krya M.S Nugroho penulis akan melakukan analisis
alur pada drama ini dengan menggunakan fungsi utama. Berikut fungsi utamanya:
1.
Keadaan laut dengan
badainya.
2.
Bunda mengutuk Malin
menjadi batu.
3.
Bunda mau bunuh diri
karena menyesal telah mengutuk Malin.
4.
Malin terbangun dari
kutukannya.
5.
Bunda dan Malin yang
melepas kerinduan karena lama tidak bertemu.
6.
Tangisan Malin karena
menyesal telah meninggalkan Bundanya.
7.
Ketika nama puteri
Sabarini disebut robohlah sebuah batu dan menjadi puteri sabarini.
8.
Malin dan puteri Sabarini
bersujud di kaki Bunda.
9.
Seseorang bertanya pada
dalang akan jalan ceritanya.
10. Orang bertanya pada Bunda mengenai kutukannya
pada Malin.
11. Pertengkaran Malin dengan puteri.
12. Bunda mengutuk dirinya sendiri tapi
orang-orang melarang, merekapun berpelukan.
Cerita dalam drama ini diawali dengan
deskripsi keadaan laut yang disertai dengan badainya, merupakan penggerak cerita
(f.1). Kemudian Bunda mengutuk malin menjadi batu (f.2). Setelah melihat
anaknya menjadi batu Bunda menyesal telah mengutuk Malin dan hendak bunuh diri
(f.3). Akan tetapi tiba-tiba Malin terbangun dari kutukannya (f.4).
Setelah Malin terbangun dari kutukannya
kemudian Malin dan Bunda melepas kerinduan karena lama tak bertemu (f.5). Akan
tetapi Malin malah terus menangis karena menyesali perbuatannya yang telah
meninggalkan Bundanya (f.6). Kemudian Malin menyebut-nyebut nama putri Sabarini
dan ketika nama puteri Sabarini disebut robohlah sebuah batu dan menjadi puteri
sabarini (f.7). Malin dan putri Sabarini pun bersujud di kaki Bunda (f.8).
Seseorang yang bertanya pada dalang akan jalan ceritanya (f.9). Kemudian orang
itupun bertanya pada Bunda mengenai kutukannya pada Malin (f.10). Pertanyaan
seseorang yang tadi membuat Malin dan putri Sabarini bertengkar (f.11).
Kemudian Bunda mengutuk dirinya sendiri akan tapi orang-orang melarang,
merekapun berpelukan (f.12). Untuk lebih jelasnya lagi mengenai alur dan
pengaluran pada lakon drama “Malin-The End Scene berikut akan penulis uraikan
mengenai bagan fungsi utamanya:
BAGAN FUNGSI UTAMA
|
|
|||
|
|
|||
Berdasarkan bagan di atas dapat diketahui
bahwa f.1 menjadi penggerak cerita yang kemudian menyebabkan munculnya f.2, f.3
dan seterusnya hingga akhir cerita. Antara f.1 ke f.2, f.2 ke f.3 dan
seterusnya hingga f.12 memiliki hubungan yang kausalitas. Melihat setiap fungsi
dalam bagan tersebut jelaslah bahawa lakon drama “Malin” ini beralurkan maju
terbukti dengan setiap fungsi yang diletakan berurutan seperti terlihat pada
bagan di atas.
1.2 Analisis Semantik
Analisis semantik merupakan analisis yang di
dalamnya meliputi; analisis tokoh dan penokohan, analisis latar dan tema.
Dengan adanya analisis semantik tersebut maka cerita akan semakin padu. Berikut
di bawah ini penjelasannya.
1.2.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah karya
sastra. Adapun tokoh dalam lakon drama “Malin-The End Scene” adalah Malin,
Bunda, Putri Sabarini, Dalang, Penyanyi dan orang-orang.
1. Malin
Tokoh Malin dalam lakon “Malin-The End Scene” merupakan sosok anak
laki-laki yang dianggap anak durhaka oleh bundanya karena tidak mau mengakui
bundanya sebagai ibu kandungnya sendiri. Dapat dilihat dari kutipan di bawah
ini:
BADAI MENGGERAM, SUARA MALIN TERTAWA LANTANG.
MALIN
Tidak. Aku tidak punya bunda seperti kau!
BUNDA
Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak
bumi. Nyawamu
tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai
kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku,
kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku, kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau,
batulah engkau! (Nugroho, 2010:1)
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Malin itu seorang
anak yang durhaka yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. Tapi di sisi
lain juga Malin itu seorang anak yang baik seperti yang terdapat dalam kutipan
di bawah ini:
BUNDA (Tertawa)
Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu
kepada istri dan anak buah kau?
MALIN
Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA
Jangan dusta! Katakan dengan jujur!
MALIN
Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung
halaman. Sebenarnya kami ke pulau ini memang hendak menjemput
Bunda. Tapi...
BUNDA
Kau malu untuk mengakui bahwa ....
MALIN
Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri
Sabarini, istriku. Aku takut... (Nugroho, 2010:6)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Malin itu anak baik
akan tetapi hanya karena mencintai seorang putri dan takut putri itu tidak mau
mengakui bundanya sebagai mertuanya makanya Malin tidak mau mengakui bundanya.
2. Bunda
Tokoh bunda dalam drama “Malin” ini merupakan sosok yang baik dan
sangat menyayangi anaknya yaitu Malin akan tetapi sosok bunda ini merupakan
sosok yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, yang tiba-tiba mengutuk Malin
dan akhirnya merasa menyesal sendiri gara-gara keputusannya sendiri. Berikut
kutipannya:
BUNDA
Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak
bumi. Nyawamu
tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai
kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku,
kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku, kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau,
batulah engkau!
MALIN
Bunda, benarkah engkau itu Bunda? (Nugroho, 2010:1)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa bunda itu sosok yang
terlalu cepat dalam mengambil keputusan tanpa memikirkan penyesalan di
akhirnya. Selain kutipan di atas yang menunjukan bunda terlalu tergesa-gesa
dalam memutuskan sesuatu. Kutipan di bawah ini juga menunjukan bahwa sosok
bunda itu merupakan sosok yang baik:
BUNDA
Tidak, Malin. Bunda maklum kau tak kenal Bunda lagi. Ketika
engkau pamit, Bunda masih bugar bersinar. Setelah lewat tiga tahun, Bunda
sering sakit dan ladang kita telah tergadai. Kemudian aku mendengar angin
berkabar Malin akan berlabuh di pulau ini.
Cepat-cepat aku berangkat. Aku menunggu kau di pantai. Terus saja aku
menatap cakrawala. Tanpa rumah berteduh, tanpa air untuk berbasuh, tanpa kilau
cermin. Berhari-hari. Kau bisa melihat betapa kacaunya penampilanku (tertawa).
(Nugroho, 2010:5)
Berdasarkan kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa sosok bunda itu
merupakan sosok yang baik dan sangat menyayangi Malin.
3. Putri Sabarini
Dalam drama “Malin” ini Putri Sabarini merupakan sosok yang baik dan
sangat menghormati bunda, seperti kutipan di bawah ini:
PUTERI
Malin. Malin. Mengapakah Uda menyebutkan namaku untuk mendurhakai,
Bunda. Siapakah malu mengakui
kalau sang bunda melarat atau tak waras. Bunda adalah hakikat kehidupan, tak
ada sesuatu pun bisa mengubahnya.
MALIN
Puteri?
PUTERI
Aku menyertai Uda adalah untuk mencium kaki Bunda. Siapa pun
wanita itu. Aku adalah menantunya. (Nugroho, 2010:6)
Berdasarkan kutipan di atas semakin jelaslah bahwa puteri itu merupakan
sosok yang sangat baik dan sangat menghorati Bunda.
Mengenai dalang dan orang-orang yang terdapat dalam drama tersebut
tidak diuraikan mengenai wataknya hanya saja dalang itu bertugas sebagai
pembawa cerita dan penyanyi hanya menyanyi kemudian orang-orang hanya sebagai
tambahan dalam cerita. Jadi tidak ada deskripsi yang menjelaskan secara khusus
mengenai watak para tokoh dalang, penyanyi dan orang-orang.
1.2.2 Latar
Latar merupakan segala keterangan yang
menunjuk atau berkaitan dengan tempat, waktu maupun suasana. Latar tempat di
dalamnya berhubungan lokasi terjadinya peristiwa, latar waktu berhubungan
dengan kapan waktu terjadi peristiwa dan latar suasana berhubungan dengan
suasana keadaan yang dialami tokoh.
1. Latar tempat
Tidak
banyak latar tempat yang dideskripsikan dalam lakon drama “Malin-The End Scene”
ini hanya ada satu yang menggambarkan bahwa keadaan tersebut berada di laut
atau tepatnya di pantai. Seperti pada kutipan di bawah ini:
DI LAUTAN. OMBAK BERDEBURAN DAN LANGIT BERKILATAN. KAPAL
MEMBATU DAN ANGIN GEMETARAN. SEKELOMPOK
ORANG BERNYANYI LAYAKNYA NELAYAN.
Penyanyi
Cerita membuka luka di balik luka
Pedas dan pedih tiada terasa
Air mata hanyalah hiasan
Hati dan pikiran jadi redam
Jika amarah jadi udara
Mulut menyembur tiada terarah
Tangan menusuk sampai berdarah
Setan dan nafsu menjadi kendara
BADAI MENGGERAM, SUARA MALIN TERTAWA LANTANG. (Nugroho,
2010: 1)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar tempat kejadian
tersebut adalah di laut tepatnya di pantai.
2. Latar Waktu
Dalam lakon drama “Malin-The End Scene” ini penulis tidak menemukan
adanya latar waktu kejadian setiap ceritanya.
3. Latar Suasana
Latar suasana yang tergambar dalam drama “Malin” ini adalah suasana
haru, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
BUNDA (Menangis)
Tidak, Malin. Tidak. Bunda tidak marah. (Tersenyum) Apa yang paling terang dalam hidup ini adalah misterinya.
Ketika bapak kau ditelan gelombang dulu kukira memang benar-benar meninggalkan
aku. Ternyata tidak. Bapak kau menyisakan cintanya dalam perutku, yaitu kau
Malin. Kaulah cahaya dalam hidupku. Kaulah sumber kebahagiaan aku, Malin. Kau
ingat lagu yang kita nyanyikan bersama dalam sinar bulan? (Menyanyi)
Ketika matahari terang, kita sering bekejar-kejaran di ladang jagung milik
kita. Kau sering bersembunyi di balik gundukan tanah. Malin, Malin. Kupanggili
kau. Aku cemas mencarimu ke mana-mana. Malin, Malin!
MALIN (Tiba-tiba
memeluk punggung BUNDA dan tertawa-tawa)
Malin di sini, Bunda!
(Nugroho, 2010:4)
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan keadaan yang mengharukan
antara Bunda dengan Malin.
1.2.3 Tema
Tema dalam lakon drama “Malin-The End Scene”
ini adalah seorang anak yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri, akan
tetapi sebenarnya ia menyayangi ibundanya. Hanya karena takut sang puteri
merasa malu jadi ia tidak mau mengakui ibu kandungnya. Kemudian seorang ibu
yang dinilai terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, sehingga
menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam karena telah mengutuk anaknya
sendiri. Di dalam drama ini tersimpan satu amanat yaitu semarah-marahnya
seorang ibu terhadap anaknya tetapi tetap pada akhirnya akan memaafkan dan akan
tetap sayang juga.
1.3 Analisis Pragmatik
Analisis pragmatik merupakan sebuah analisis
mengenai sudut pandang atau point of view. Yang di dalamnya membahas
mengenai kehadiran pencerita/pengarang baik itu yang intern (pengarang berada
dalam cerita) ataupun ekstern (pengarang hanya jadi pencerita saja). Berikut
ini penjelasannya.
1.3.1 Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view yang
digunakan pengarang dalam drama “Malin-The End Scene” ini adalah ekstern atau
pengarang berada di luar cerita, pengarang hanya jadi pencerita dan tidak ikut
berperan dalam ceritanya. Hal tersebut terbukti dengan pengarang tidak
menggunakan tokoh aku dalam dramanya melainkan menggunakan nama tokoh dalam
dramanya. Seperti tokoh Malin, Bundan dan sebagainya. Berikut kutipannya:
BUNDA (Tertawa)
Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu
kepada istri dan anak buah kau?
MALIN
Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA
Jangan dusta! Katakan dengan jujur!
MALIN
Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung
halaman. Sebenarnya kami ke pulau ini memang hendak menjemput
Bunda. Tapi...
BUNDA
Kau malu untuk mengakui bahwa ....
MALIN
Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri
Sabarini, istriku. Aku takut...
(Nugroho, 2010:6)
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa pengarang menyebutkan nama
tokoh bukan dengan sebutan tokoh aku.
BAB IV
JENIS TRANSFORMASI DALAM DRAMA MALIN-THE END SCENE KARYA M.S. NUGROHO
Perubahan dari legenda “Malin Kundang Anak
Durhaka” ke dalam lakon drama “Malin-The End Scene” melalui beberapa bentuk
transformasi yaitu afirmasi, restorasi, parodi dan negasi. Afirmasi adalah
bentuk transformasi teksnya sama dengan teks yang mendahuluinya. Restorasi
adalah perubahan terbatas dari teks yang mendahuluinya. Parodi adalah perubahan
dari bentuk semula dikemas menjadi cerita lucu. Negasi yaitu teks
transformasinya itu berbeda jauh dengan teks yang mendahuluinya atau
bertentangan dengan teks aslinya.
Setelah kita perhatikan dan melakukan analisis
dari teks drama “Malin-End The Scene” ternyata mengalami beberapa trasnformasi
dari teks terdahulunya yaitu legenda “Malin
Kundang Anak Durhaka”. Alasan pengarang menciptakan kembali karya tersebut
adalah karena pengarang menginginkan ada perubahan pada cerita Malin Kundang.
Seperti dari kesedihan diubah menjadi kebahagiaan kemudian yang biasanya Malin
yang durhaka dan dikutuk tapi dalam cerita ini Malin bangkit dari kutukannya,
malah bundanya yang mengutuk dirinya sendiri meskipun tidak jadi. Berikut
kutipannya:
ORANG (Kepada DALANG)
Pak
Tua, mengapa ceritanya jadi begini?
DALANG
Mengapa?
Kalian tidak suka ada kebahagiaan dalam cerita Malin Kundang?
ORANG
Tidak.
Kami tidak bermaksud demikian. Kami hanya bertanya.
DALANG
Saya memang pembawa cerita. Tapi bukan berarti saya harus memaksa para
pemain mengikuti pola yang telah ada. Kalau kalian ingin tahu alasannya, tanyakan saja kepada pemerannya
sendiri. (Nugroho, 2010:7)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui
bahwa lakon drama “Malin-The End Scene” ini memang diciptakan untuk menghibur
para pembaca yang di dalam kisahnya mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan.
4.1 Alur dan Pengaluran
Setelah penulis melakukan analisis pada teks
lakon drama “Malin-The End Scene” ternyata mengalami perubahan parodi yaitu
perubahan dari bentuk semula yang dikemas menjadi cerita lucu. Dari teks
legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” dan “Malin-The End Scene” terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan cerita
di dalamnya. Persamaan ceritanya yaitu pada lakon drama “Malin-The End
Scene” setelah sekian lama Malin merantau akhirnya Malin menjadi saudagar kaya
raya dan menikah dengan seorang puteri, ketika berlabuh di suatu pantai Malin
bertemu dengan bundanya tapi Malin tidak mau mengakui bundanya tersebut sebagai
ibu kandungnya sendiri akhirnya Malin pun dikutuk menjadi batu oleh bundanya.
Adapun perbedaannya yaitu pada teks cerita
“Malin Kundang Anak Durhaka” ceritanya dari awal Malin Kundang kecil sampai
meranatau ke suatu pelabuhan dan menjadi seorang saudagar kaya raya hingga akhirnya menikah dengan puteri
saudagar kaya raya. Dan pada saat bertemu ibunya Malin Kundang tidak mau
mengakui ibu kandungnya sendiri hingga akhirnya ibu kandungnya mengutuknya
karena Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya. Sedangkan pada teks drama
“Malin-The End Scene” ceritanya langsung dari akhir sesuai dengan judul drama
tersebut, yaitu awal ceritanya Malin dikutuk menjadi batu oleh bundanya akan
tetapi setelah Malin berubah wujud menjadi batu bundanya Malin menjadi sangat
menyesal dan memohon kepada Malin supaya terbangun dari kutukannya jika tidak
maka bundanya mengutuk dirinya sendiri dan hendak bunuh diri. Akhirnya Malin
pun terbangun dari kutukannya dan melepas rindu bersama bundanya. Kemudian
Malin beserta istrinya Puteri sabarini mencium kaki bundanya Malin. Tiba-tiba
seseorang menanyakan jalan ceritanya yang berbeda dari cerita yang
sesungguhnya, bertanya kepada bunda, kepada Malin dan terakhir kepada Puteri.
Pada saat bertanya pada puteri malah membuat puteri dengan Malin bertengkar
tapi bunda malah hendak bunuh diri dan terus mengutuk dirinya sendiri tapi pada
akhirnya bunuh dirinya pun tidak jadi dan merekapun berpelukan.
Selain hal tersebut, konflik yang terjadi dari
kedua teks tersebut sedikit berbeda. Jika pada teks cerita “Malin Kundang Anak
Durhaka” konflik yang terjadi itu pada saat Malin tidak mau mengakui bundanya
sebagai ibu kandungnya, tapi sedikit berbeda dengan lakon drama “Malin-The End
Scene”. Pada lakon drama “Malin-The End Scene” konflik yang terjadi itu pada
saat seseorang bertanya kepada bunda mengenai sebab bunda mengutuk Malin menjadi
batu selain itu juga pada saat seseorang itu bertanya kepada puteri yang
berujung pertengkaran antara puteri dengan Malin.
4.2 Tokoh dan Penokohan
Berdasarkan kedua teks cerita yaitu antara
“Malin Kundang Anak Durhaka” dengan lakon drama “Malin-The End Scene” jika di
bandingkan tokoh-tokohnya, maka jenis transformasi yang terdapat di dalamnya
yaitu restorasi atau perubahan terbatas dari teks yang mendahuluinya. Seperti
terlihat pada tabel di bawah ini:
|
No
|
Legenda Malin Kundang
Anak Durhaka
|
Lakon Drama Malin-The
End Scene
|
|
1.
|
Malin Kundang
|
Malin
|
|
2.
|
Mande Rubayah
|
Bunda
|
|
3.
|
Suami Mande Rubayah
|
-
|
|
4.
|
Putri
|
Putri Sabarini
|
|
5.
|
Nakhoda
|
-
|
|
6.
|
Burhan
|
-
|
|
7.
|
Istri Burhan
|
-
|
|
8.
|
|
Dalang
|
|
9.
|
|
Penyanyi
|
|
10.
|
|
Orang-orang
|
Berdasarkan tabel tersebut dapat jelas
terlihat bahwa tokoh yang terdapat dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” tidak terlalu berbeda
jauh dengan tokoh yang terdapat dalam lakon drama “Malin-The End Scene” hanya
namanya saja yang berbeda akan tetapi memiliki kedudukan yang sama kecuali dari
pemeran tambahan seperti Nakhoda, Burhan dan istri Burhan yang terdapat dalam
cerita Malin Kundang Anak Durhaka sedangkan Dalang, Penyanyi dan orang-orang
itu tambahan dalam lakon drama “Malin-The End Scene”. Jadi dapat disimpulkan
bahwa tokoh dan penokohan dalam drama “Malin-The End Scene” mengalami perubahan
akan tetapi perubahan yang terbatas.
4.3 Latar
Setelah penulis melakukan analisis mengenai
latar dari kedua teks cerita yaitu cerita “Malin Kundang Anak Durhaka” dengan lakon drama
“Malin-The End Scene” maka penulis menemukan perbedaannya yang terdapat di
keduanya seperti yang akan penulis uraikan melalui tabel berikut ini:
|
No
|
Malin Kundang Anak
Durhaka
|
Malin-The End Scene
|
||
|
Latar Tempat
|
Latar Waktu
|
Latar Tempat
|
Latar Waktu
|
|
|
1.
|
Tepi Pantai
|
Pagi dan sore
|
Di Laut
|
-
|
|
2.
|
Kapal
|
|
-
|
|
|
3.
|
Di Rumah
|
|
-
|
|
|
4.
|
Kapal Pesiar
|
|
-
|
|
Setelah kita perhatikan tabel tersebut di atas
maka dapat diketahui bahwa latarnya sama yaitu di sekita laut hanya saja jika
dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” latar tempatnya lebih banyak
dibandingkan dalam drama “Malin-The End Scene” mungkn hal tersebut karena
“Malin-The End Scene” itu jenisnya drama. Dengan demikian, maka transformasi yang terjadi pada
latar ini adalah transformasi retorasi atau terjadi perubahan yang terbatas.
4.4 Tema
Setelah penulis analisis dapatlah diketahui
bahwa bentuk transformasi yang terdapat dalam tema adalah parodi yaitu
perubahan dari bentuk semula yang dikemas secara lucu. Di dalamnya sama-sama
mengenai kutukan seorang ibu terhadap anak laki-lakinya yang durhaka akan
tetapi jika pada lakon drama “Malin-The End Scene” dibuat sedemikian rupa
sehingga menjadi lucu. Dimana anak atau tepatnya si Malin yang telah dikutuk
setelah ibunya menyesali kutukannya itu akhirnya si Malinnya bangkit dan hidup
kembali.
4.5 Sudut Pandang
Berdasarkan kedua teks ini yaitu teks legenda
“Malin Kundang Anak Durhaka” dan lakon drama “Malin-The End Scene” meskipun
jenisnya berbeda yaitu antara legenda dan drama akan tetapi memiliki point
of view atau sudut pandang yang sama yaitu sama-sama ekstern atau pengarang
menempatkan dirinya di luar cerita dan sama sekali tidak ada di dalam cerita.
Dengan demikian bentuk transformasi sudut pandang pada cerita ini adalah
afirmasi yaitu sama dengan teks yang mendahuluinya.
BAB V
SIMPULAN
5.1
Simpulan
Setelah penulis melakukan
analisis pada legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” dengan lakon drama
“Malin-The End Scene” pada dasarnya ceritanya sama, hanya ada beberapa hal yang
membedakan seperti dari tokoh dan penokohan, latar maupun tema.
Alur dalam legenda “Malin Kundang
Anak Durhaka” adalah alur mundur yakni cerita diawali dengan deskripsi “pada
zaman dahulu”. Cerita baru dimulai ketika Mande Rubayah dengan suaminya yang
merupakan orang tua Malin Kundang pindah dan mengganti mata pencahariannya
menjadi nelayan. Kemudian suami Mande Rubayah pergi melaut dan tak kunjung
pulang. Pada saat Malin Kundang dewasa dia meminta ijin kepada Mande Rubayah
untuk pergi merantau, meski berat akhirnya Mande Rubayah mengijinkan Malin Kundang
pergi merantau. Di perantauan Malin Menjadi sosok yang disukai oleh sang
Nakhoda dan ia dijadikan anak oleh sang nakhoda itu. Setelah sekian lama ia
bekerja, akhirnya Malin Kundang menjadi seorang kaya raya dan menikah dengan
seorang putri anak seorang kaya raya pula. Pada saat Malin Kundang pergi
berkunjung ke kampung halamannya ia bertemu dengan Mande Rubayah yang merupakan
ibu kandungnya, akan tetapi Malin Kundang tidak mau mengakui Mande Rubayah
sebagai ibu kandungnya malah ia menendangnya dan mengusirnya. Akhirnya Mande
Rubayah mengutuk Malin Kundang. Pada saat Malin Kundang di perjalanan pulang,
tiba-tiba diserang badai yang sangat dahsyat dan ia pun beserta kapal yang ia
tumpangi hancur terhempas badai. Ketika di pagi hari di pesisir pantai Nampak terlihat
bongkahan batu yang menyerupai manusia, konon itulah batu Malin Kundang si Anak
durhaka.
Dalam legenda “Malin Kundang Anak
Durhaka” di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang menjadi pemeran dalam cerita
tersebut diantaranya Malin Kundang sosok anak durahaka kemudian Mande Rubayah,
Suami Mande Rubayah, putri yang merupakan istrinya Malin Kundang, nakhoda,
Burhan dan istrinya yang merupakan sahabat kecil Malin Kundang.
Kemudian dalam “Malin Kundang
Anak Durhaka” terdapat beberapa latar yang tergambar di dalamnya, baik itu
latar tempat maupun latar waktu. Seperti di tepi pantai, kapal tempat Malin
bekerja, di rumah dan di kapal pesiar milik Malin Kundang. Adapun latar waktu
yaitu penulis hanya menemukan latar waktu pagi dan sore saat Mande Rubayah berdoa
di tepi pantai.
Tema yang terkandung di dalamnya
adalah tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Serta kesedihan
seorang ibu karena kasih sayang serta pengorbanan yang ia berikan tidak
dihiraukan oleh anak kandungnya sendiri, sehingga membuat ia marah dan mengutuk
anaknya sendiri.
Legenda “Malin Kundang Anak
Durhaka” menggunakan sudut pandang ekstern atau pengarang berada di luar
cerita.
Yang berikutnya adalah lakon
drama “Malin-The End Scene” awal ceritanya adalah ketika bunda mengutuk Malin
akan tetapi setelah Malin menjadi batu bunda merasa menyesal dan mengutuk
dirinya sendiri bahkan lebih dari itu bunda malah hendak membunuh dirinya
sendiri. Tiba-tiba Malin terbangun dari kutukannya dan melepaskan rindu bersama
bundanya. Kemudian Malin menyebut-nyebut nama putri Sabarini di depan bundanya
dan satu bongkahan batu berubah menjadi putri Sabarini dan akhirnya merekapun
bersujud di kaki bundanya. Tiba-tiba seseorang bertanya kepada bunda tentang
alasan bunda mengutuk Malin dan bertanya pula kepada putri Sabarini tentang
bertahankah putri Sabarini pada Malin. Akan tetapi malah menjadi pertengkaran
antara Malin dan Putri Sabarini, bunda pun merasa tersinggung akan pertanyaan
orang itu. Tidak lama kemudian ada orang yang melerai dan akhirnya merekapun
berpelukan.
Adapun tokoh yang terdapat dalam
lakon drama “Malin-The End Scene” adalah
Malin, Bunda, Putri Sabarini, Dalang, Penyanyi dan Orang-orang.Hanya terdapat
satu latar dalam lakon drama “Malin-The End Scene” ini yaitu di laut. Dan dalam
drama ini penulis tidak menemukan adanya latar waktu.
Kemudian lakon drama “Malin-The
End Scene” bertemakan tentang seorang
anak yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri, akan tetapi sebenarnya ia
menyayangi ibundanya. Hanya karena takut sang puteri merasa malu jadi ia tidak
mau mengakui ibu kandungnya. Kemudian seorang ibu yang dinilai terlalu
tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, sehingga menimbulkan penyesalan yang
sangat mendalam karena telah mengutuk anaknya sendiri.
Sudut pandang dalam lakon drama “Malin-The End Scene” sama dengan
sudut pandang legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” yaitu pengarang menempatkan
dirinya di luar cerita. Atau pengarang hanya jadi pencerita saja dan tidak ikut
terlibat di dalam ceritanya.
Alur dan pengaluran dari kedua teks tersebut mengalami perubahan parodi
yaitu perubahan yang dikemas menjadi cerita yang lucu. Jika pada cerita “Malin
Kundang Anak Durhaka” Malin Kundang dikutuknya di akhir cerita akan tetapi jika
pada lakon drama “Malin-The End Scene” tokoh Malin dikutuknya di
awal cerita dan tokoh Malinnya bisa bangkit lagi dari kutukannya.
Transformasi yang terjadi pada tokoh, latar dan tema pada lakon drama “Malin-The
End Scene” adalah restorasi karena ada beberapa perubahan yang terbatas dari
cerita terdahulunya. Dan transformasi pada sudut pandang adalah afirmasi karena
pengarang sama-sama menempatkan dirinya di luar cerita dan hanya sebatas
pencerita saja. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai jenis transformasi pada
lakon drama “Malin-The End Scene” dapat dilihat dari tabel berikut ini:
|
No
|
Drama “Malin-The End Scene”
|
Jenis Transformasi
|
|
1.
|
Alur dan Pengaluran
|
Parodi
|
|
2.
|
Tokoh dan Penokohan
|
Restorasi
|
|
3.
|
Latar
|
Restorasi
|
|
4.
|
Tema
|
Restorasi
|
|
5.
|
Sudut Pandang
|
Afirmasi
|
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa transformasi yang terjadi pada lakon drama “Malin-The End
Scene” pada alur dan pengaluran transformasi yang terjadi adalah parodi
kemudian jika pada tokoh dan penokohan, latar, dan tema transformasi yang
terjadi adalah restorasi dan terakhir pada sudut pandang transformasi yang
terjadi adalah afirmasi.
5.2 Saran
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca. Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan bagi para pembaca serta bisa menjadi referensi bagi pembaca yang akan
melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan
intertekstual.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin.2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:Sinar
Baru Algensindo.
Redaksi PM. 2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Depok:Pustaka
Makmur.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2012. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kosasih, E. 2008. Apresiasi
Sastra Indonesia. Jakarta:Nobel
Edumedia.
Angelia,
Yustitia. Tanpa Tahun. Legenda Malin Kundang. Jakarta:Bintang
Indonesia.
Nugroho,
M.S. 2011. Malin The End Scene. [online]. Tersedia: http://bandarnaskah.Com [23 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar