Senin, 09 November 2015

ANALISIS INTERTEKSTUALITAS



ANALISIS INTERTEKSTUALITAS PADA DRAMA MALIN-THE END SCENE KARYA (M.S. NUGROHO) DENGAN LEGENDA MALIN KUNDANG ANAK DURHAKA
MAKALAH
Diajukan sebagai pengganti UAS mata kuliah Kajian Drama Indonesia
dengan dosen pengampu David Setiadi, M.Hum.
Oleh
Siti Apipah
3131311030 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Alasan Pemilihan Korpus
Sastra sering dipersamakan dengan bentuk-bentuk fisik seperti buku atau kitab yang berisi tulisan yang indah, mendidik ataupun kitab-kitab pengajaran. Karya itu merupakan segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia. Karya sastra itu sangat beragam dari mulai prosa, puisi, dan drama. Dan seperti yang kita tahu bahwa emua itu merupakan seni estetika yang mediumnya menggunakan Bahasa. Sebagai sebuah karya, drama pun mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada suatu sisi dan berdimensi seni pada sisi yang lain.
Pengarang sebelum memproduksi sebuah karya sastra akan terlebih dahulu merespon sebuah karya yang telah ada sebelumnya. Melalui karya terdahulu pengarang mempelajari serta memahami gagasan yang tertuang dalam suatu karya tersebut yang kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karya sendiri dengan menggunakan konsep serta estetika sendiri. Seperti halnya pada lakon drama “Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho yaitu hasil transformasi dari “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” yang di dalamnya memiliki inti cerita yang sama, akan tetapi dari masing-masing cerita memiliki kisah akhir yang berbeda.
Lakon drama “Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho merupakan salah satu lakon drama yang diangkat dari sebuah cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka”. Sebetulnya banyak sekali teks transformasi dari “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” dengan berbagai versi cerita. Akan tetapi, penulis lebih memilih “Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho karena “Malin-The End Scene” ini adalah sebuah lakon drama. Sesuai dengan kajiannya, yaitu kajian drama dengan menggunakan pendekatan intertekstual.
Seperti yang kita ketahui bahwa intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain, yang memiliki kesamaan cerita maupun perbedaan cerita. akan tetapi selalu ada satu teks cerita yang jadi acuan atau yang terdahulu. Dalam menganalisis teks yang melalui pendekatan intertekstual tentunya penulis harus berhati-hati dalam memilih teks yang akan dianalisis. Karena dalam pendekatan intertekstual akan ada yang disebut teks hipogram atau teks terdahulu kemudian teks  transformasi yaitu teks kekinian yang memiliki kesamaan cerita, maupun perbedaan cerita serta memiliki hubungan atau keterkaitan di dalamnya meskipun telah ada perubahan dalam teks transformasinya.
Mengenai alasan penulis memilih “Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho dan cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka”, karena dua teks tersebut memiliki persamaan cerita serta hubungan di dalam ceritanya. Selain dari hal tersebut, dari dua teks tersebut merupakan teks hipogram dan teks transformasi. “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” merupakan teks hipogramnya dan lakon drama “Malin-The End Scene” merupakan teks transformasinya.
1.2  Pengarang dan Karyanya
Mengingat cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” merupakan sebuah cerita rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut, jadi penulis tidak menemukan biografi  pengarang legenda Malin Kundang Anak Durhaka tersebut. Meskipun banyak versi cerita mengenai legenda Malin Kundang ini akan tetapi penulis lebih memilih versi lama yang dikutip dari buku kumpulan cerita rakyat Legenda Batu Malin Kundang yang ditulis kembali oleh Yustitia Angelia dan diterbitkan Bintang Indonesia Jakarta. Dan biografi yang menuliskan kembali legenda ini pun tidak dicantumkan dalam buku tersebut.
Adapun pengarang lakon drama “Malin-The End Scene” bernama  M. S. Nugroho. Lahir di Jombang, pada 24 April 1970. Alamat di Jalan A. Yani 110 Dusun Mojolegi RT 07 RW 02, Dukuhmojo, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Alamat Kantor : SMP Negeri 3 Peterongan Di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang Jawa Timur. Kuliah di Jurusan Pendididikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Malang, 1995.
Pengalaman, Menyutradarai dan atau bermain drama antara lain: “Wakuncar dan Kusir Delman” M.S.Nugroho, “Burung itu Bukan Milikmu” M.S.Nugroho; “Tali-tali” M.S.Nugroho, “Raja Toba” M.S. Nugroho (1988/ 1989); “Wah” Putu Wijaya (1990), “Oidipus sang Raja” Sophocles (1992), “Sumur tanpa Dasar” Arifin C. Noer (1992 dan 1993), “Bila Malam Bertambah Malam” Putu Wijaya (1993), “Aum” Putu Wijaya (1993), “The Valiant” Hollsworthy Hall & Midlemans (1993), “Rick dari Corona” Rendra (1993), “Surup” M.S.Nugroho (1996) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Prestasi penghargaan yang pernah diraih: 1983 Wakil Mojoagung dalam pemilihan siswa teladan, bidang studi IPA, cerdas. cermat P4, dan lomba lukis di kabupaten Jombang; 1984 Juara II Lomba lukis Porseni kabupaten Jombang; 1987 Juara III Lomba lukis hari Pahlawan; 1988 10 besar lomba drama Porseni Provinsi Jawa Timur; Juara Umum Festival Drama oleh STKIP PGRI Jombang; 1989 Sutradara Terbaik dan Juara Umum Lomba Drama Lima Kota oleh Kelbin Terbang dan Fakta; Juara II lomba lukis kabupaten Jombang; 1990 Juara I lomba lukis di kabupaten Jombang dan sekitarnya; Juara II lomba baca puisi di kabupaten Jombang dan sekitarnya; Juara II lomba cipta puisi dan 10 besar baca puisi di Malang dan sekitarnya; 1993 Juara umum, sutradara terbaik, aktor terbaik, kelompok teater terbaik Festival; Teater se-Jombang oleh STKIP PGRI Jombang; 1996 Juara I Lomba Lukis Dewasa tingkat provinsi dalam Kegiatan MTQ Jawa Timur XVII; 2007 Pemenang Penulis Naskah Terpilih dalam Lomba Penulisan Naskah Fragmen Budi Pekerti oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, judul naskah: “Wakuncar dan Kusir Delman” dipentaskan oleh Blasom Art Community Theater Kabupaten Sampang; 2008 Juara III dan Nominator Lomba Penulisan Naskah Teater Remaja 2008 oleh Taman Budaya Provinsi Jawa Timur; Juara Favorit Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2008 tingkat nasional oleh Selsun Golden Award; 2010 Juara Harapan I Lomba Cerita Pendek Berdasarkan Cerita Panji Dewan Kesenian Jawa Timur kerjasama Dewan Kesenian Jombang, Judul Cerpen “Jago Untuk Presiden”;  Juara Harapan Utama Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2010 tingkat nasional oleh Selsun Golden Award, Judul Cerpen “Entrupi Jaka Bayawak”; dan 2011 5 Sutradara Terbaik Non Ranking Pekan Seni Pelajar SMP Tingkat Provinsi Jawa Timur.
Selain prestasi-prestasi yang telah disebutkan di atas, berikut karya-karya tulis yang pernah diciptakan M.S Nugroho: Cerita pendek “Monolog Malam” dimuat dalam antologi Kopiah dan Kunfayakun dengan kata pengantar Ahmad Tohari, penerbit Gita Nagari Yogyakarta, 2003; Cerita pendek “Presiden Panji Laras” dimuat dalam antologi cerpen Jejak Sketsa Langit penerbit Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2008; Presiden Panji Laras kumpulan cerpennya diterbitkan Kelompok Studi Jalan, Kata Pengantar R. Giryadi, 2010; Drama “Malin-End The Scene” dan “Wewe Gombel” dimuat dalam kumpulan Dewa Mabuk, Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010; Cerpen “Pertemuan Sunyi” dimuat dalam Hujan Sunyi Banaspati oleh Dewan Kesenian Jombang 2010; dan Dansa Angin kumpulan puisinya diterbitkan Kelompok Studi Jalan, 2012.
1.3  Landasan Teoretis
Dalam mengkaji sebuah sastra hendaknya mengetahui serta memahami teorinya terlebih dahulu, sebagai dasar atau sumber acuan dalam proses pengkajiannya. Pada dasarnya unsur-unsur dalam drama tidaklah jauh berbeda denga unsur-unsur pada prosa fiksi. Unsur-unsur tersebut adalah plot atau alur, tokoh atau karakter, dialog, latar atau setting serta tema.
1.3.1        Teori Struktural dalam Mengkaji Drama
Kajian drama dengan menggunakan pendekatan intertekstual terdapat struktur analisis yaitu analisis sintaksis, semantik dan pragmatik. Analisis sintaksis meliputi alur dan pengaluran, analisis semantik meliputi tokoh dan penokohan, latar dan tema. Kemudian analisis pragmatik di dalamnya meliputi sudut pandang pengarang.
1.      Plot atau Alur
Plot atau alur merupakan jalinan cerita atau jalinan konflik tokoh dari awal hingga akhir dalam perjalanan konfliknya selalu berada dalam hubungan sebab akibat. Seperti bentuk-bentuk sastra lainnya, cerita drama pun harus bergerak dari permulaan, melalui bagian tengah, dan menuju akhir. Dalam drama bagian-bagian ini dikenal sebagai eksposisi (awal cerita dan juga awal konflik), komplikasi (pengembangan konflik) pengarang dapat menggunakan teknik flash-back atau sorot balik untuk memperlihatkan masa lalu sang tokoh utama dan yang terakhir resolusi atau denoument merupakan tahap akhir dalam sebuah cerita. titik yang memisahkan antara komplikasi dan resolusi disebut klimaks pada klimaks terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh. (Kosasih, 2008:84).
2.      Tokoh
Menurut Aminuddin (2013:79) tokoh atau pelaku adalah yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. (Kosasih, 2008:84) berpendapat bahwa tokoh-tokoh drama diklasifikasi menjadi empat kelompok sebagai berikut:
1)      Tokoh Gagal atau Tokoh Badut (The Foil)
Tokoh ini mempunyai pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain. Kehadirannya berfungsi untuk menegaskan tokoh lain.
2)      Tokoh Idaman (The Type Character)
Tokoh ini berperan sebagai pahlawan dengan karakternya yang gagah, adil atau terpuji.
3)      Tokoh Statis (The Static Character)
Tokoh ini memiliki peran yang tetap sama, tanpa perubahan, mulai dari awal hingga akhir.
4)      Tokoh yang Berkembang
Tokoh ini mengalami perkembangan selama cerita berlangsung. 
3.      Dialog
Menurut (Kosasih, 2008:85) dalam drama, percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan. Yaitu:
1)      Dialog harus turut menunjang gerak laku tokohnya. Dialog haruslah digunakan untuk mencerminkan apa yang telah terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita berlangsung, dan dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.
2)      Dialog yang diucapkan di atas pentas harus lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja. Para tokoh harus berbicara dengan jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.
4.      Latar atau Setting
Menurut Aminuddin (2013:67) setting adalah latar, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal (tempat) dan fungsi psikologis (suasana, sikap dan jalan fikiran masyarakat tertentu). Setting biasanya meliputi tempat, ruang, waktu, dan situasi. Jika dalam pentas drama biasanya setting akan ditampilkan lebih konkret lewat perlengkapan.
5.      Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakan. (Aminuddin, 2013:91) Tema merupakan gagasan pokok atau yang terkandung dalam sebuah teks drama. Tema seringkali disebut pula sebagai lakon dalam drama.
6.      Sudut Pandang Pengarang
Sudut pandang merupakan cara pengarang menghadirkan tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Sudut pandang pengarang terbagi menjadi dua yaitu:
1.      Intern (pengarang berada di dalam cerita), tokoh yang digunakannya “Aku”.
2.      Ekstern (pengarang di luar cerita), menggunakan nama tokoh atau dia.
1.3.2        Intertekstual
Secara luas interekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Kajian intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interekstual tidak terbatas sebagai persamaan genre, intereks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram.
Hutomo (Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya.
1.3.3        Struktural
Sebuah karya sastra menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun-nya). Di satu pihak struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah, Abram (Nurgiyanto, 2002:36). Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa, tokoh, dan latar dalam sebuah teks.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur yang dimaksud adalah plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Staton (Susanto, 2012:131). Mengemukakan bahwa plot dipandang sebagai tulang punggung cerita sebab alur bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur-unsur yang lain. Alur atau plot menurutnya harus jadi bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.
Istilah tokoh oleh Robert Stanton (Susanto, 2012:132). Tokoh memiliki beberapa cara pemakaian yang berbeda. Pertama, tokoh digunakan untuk menunjukkan pada orang-orang yang yang terdapat dalam cerita. Kedua, untuk menjelaskan bagaimana lukisan atau gambaran watak-watak dari para tokoh tersebut.
1.4  Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana struktur teks cerita “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka”?
2.      Bagaimana struktur lakon drama “Malin-The End Scene” karya M.S Nugroho?
3.      Bagaimana jenis transformasi dalam drama “Malin-The End Scene” Karya M.S. Nugroho?


BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERITA “LEGENDA MALIN KUNDANG ANAK DURHAKA”
1.1  Analisis Sintaksis
Analisis sintaksis merupakan analisis alur dan pengaluran yang dapat memperjelas bagian dalam cerita. Adapun analisis sintaksis pada legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” yang merupakan teks hipogram atau teks terdahulunya dapat dilihat dari paparan berikut ini:
2.1.1 Analisis Alur dan Pengaluran
Untuk mengetahui alur dalam cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Anak Durhaka” ini, penulis akan melakukan analisis dengan menggunakan fungsi utama. Fungsi utamanya sebagai berikut:
1.      Penggambaran kehidupan keluarga kecil Mande Rubayah.
2.      Mande Rubayah memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang.
3.      Malin diajarkan melaut oleh ayahnya.
4.      Suami Mande Rubayah pergi melaut.
5.      Malin terserang penyakit yang mematikan.
6.      Kekahawatiran Mande Rubayah karena suaminya tak kunjung pulang.
7.      Kebahagiaan Mande Rubayah karena penyakit Malin dapat disembuhkan.
8.      Untuk mempertahankan hidupnya Mande Rubayah berjualan kue.
9.      Malin meminta ijin pada ibunya untuk merantau.
10.  Malin bekerja sebagai awak kapal dagang.
11.  Malin diangkat anak oleh nakhoda tempat ia bekerja.
12.  Pernikahan Malin dengan puteri saudagar kaya.
13.  Harapan Mande Rubayah agar Malin segera pulang.
14.  Kedatangan Malin ke kampung halaman Malin.
15.  Kebahagiaan mande Rubayah saat bertemu Malin.
16.  Malin mencaci maki Mande Rubayah karena tak mau mengakuinya sebagai ibu kandung.
17.  Mande Rubayah berdo’a dan mengutuk Malin.
18.  Semua orang meninggalkan pantai Air Manis.
19.  Badai yang menghantam kapal Malin dan rombongannya.
20.  Penyesalan Malin yang tak berarti.
21.  Malin beserta kapal yang ditumpanginya berubah wujud menjadi batu.
22.  Suka terdengar dari batu jeritan manusia yang meminta tolong.
Cerita di awalali dengan deskripsi penggambaran kehidupan Mande Rubayah di Pantai Air Manis (f.1). kemudian Mande Rubayah dan suaminya dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Malin Kundang (f.2). Ayah malin selalu mengajarkan Malin melaut dengan harapan supaya menjadi pelaut yang ulung (f.3). Lalu suatu hari suami Mande Rubayah pergi melaut akan tetapi Mande Rubayah merasa ragu atas kepergian suaminya kali ini (f.4).
Setelah kepergian suaminya tiba-tiba kampung itu terserang penyakit yang mematikan Malin Kundang termasuk salah satunya yang terkena penyakit tersebut (f.5). Mande Rubayah semakin merasa khawatir karena sudah beberapa pekan dari kepergiannya akan tetapi suaminya tak jua kunjung pulang (f.6). Akan tetapi di sisi lain Mande Rubayah merasa bahagia karena penyakit Malin Kundang bisa disembuhkan (f.7). Karena suaminya tak kunjung pulang Mande Rubayah berjualan kue untuk mempertahankan hidupnya (f.8). Tak terasa Malin pun sudah dewasa dan meminta ijin kepada ibunya untuk pergi merantau (f.9). Setelah ibunya memberi ijin Malin pun pergi merantau dan bekerja sebagai awak kapal dagang (f.10). Karena Malin bekerja dengan sungguh-sungguh dan selalu bersikap baik akhirnya Malin diangkat anak oleh nakhoda kapal tempat ia bekerja (f.11). Akhirnya Malin Kundang pun sukses dan menikah dengan seorang putri saudagar kaya raya (f.12). Dan Mande Rubayah selalu berdoa dan terus berharap agar anaknya bisa pulang (f.13). Akhirnya Malin Kundang datang ke kampung halamannya (f.14). Mendengar hal itu Mande Rubayah sangat bahagia (f.15). akan tetapi Malin mencaci maki Mande Rubayah dan tidak mau mengakuinya sebagai ibu kandung (f.16).
Kemudian Mande Rubayah berdo’a dan mengutuk Malin Kundang (f.17). Semua orang merinding mendengar kata-kata Mande Rubayah, lalu pergi meninggalkan Pantai Air Manis (f.18). Tiba-tiba pada saat perjalanan pulang badai datang menghantam kapal yang ditumpangi Malin beserta rombongannya (f.19). Malin menyesali perbuatannya akan tetapi penyesalan itu tiadalah berarti (f.20). Malin beserta kapal yang ia tumpangi berubah wujud menjadi batu (f.21). Dari batu yang berbentuk manusia itu terkadang suka terdengar longlongan jerit manusia (f.22).
BAGAN FUNGSI UTAMA


 









Berdasarkan bagan tersebut dapatlah diketahui alur cerita “Malin Kundang Anak Durhaka” adalah alur mundur seperti terlihat pada f.1 hingga f.21 panahnya menunjuk sama yakni dari f.1 ke f.2, f.2 ke f.3 dan seterusnya hingga akhir. Mengenai f.22 yang penulis tulis berdekatan dengan f.1 karena ceritanya kembali ke semula yakni ke awal mula cerita.
1.2  Analisis Semantik
Analisis semantik merupakan analisis yang di dalamnya meliputi; analisis tokoh dan penokohan, analisis latar dan tema. Dengan adanya analisis semantik tersebut maka cerita akan semakin padu. Berikut di bawah ini penjelasannya
2.2.1 Analisis Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah karya sastra. Adapun tokoh dalam cerita rakyat “Legenda Malin Kundang Si Anak Durhaka” adalah Malin Kundang, Mande Rubayah, Suami Mande Rubayah, Putri istri Malin Kundang, Nakhoda, Burhan dan istrinya. Tokoh yang sangat dominan diceritakan adalah tokoh Malin Kundang yang merupakan tokoh utama. Berikut ini penjelasannya:
1.      Malin Kundang
Tokoh Malin ini merupakan sosok pemuda yang ramah, tekun dalam meraih keinginannya, penyayang, akan tetapi hanya karena harta dan memiliki istri anak bangsawan sehingga ia tega tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri dan menjadi anak durhaka. dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:

Ia seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Hasil tangkapan ikannya jauh melebihi teman-teman lainnya.
Malin Kundang sangat sayang kepada ibunya. Ia juga dikenal sebagai anak muda yang ramah, tidak sombong sehingga banyak disukai teman-temannya.
Karena rajin dan cerdas ia disayang oleh sang nakhoda. Tak jarang jika waktu luang ia membantu keperluan pribadi sang nakhoda. Ia juga bersedia memijat sang nakhoda jika sedang kelelahan.
Rupanya pijatan Malin terasa enak di badan sang nakhoda. Malin menjadi kesayangan sang nakhoda. Walau demikian Malin tidak bermalas-malasan, apa yang harusnya ia kerjakan ia kerjakan di kapal itu tanpa harus menunggu perintah sang nakhoda.
Mengangkut barang-barang berat tidak menjadi masalah baginya.
Lama kelamaan sang nakhoda yang tak punya anak itu menganggap Malin sebagai anaknya sendiri. (Angelia: 4)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Malin Kundang itu sebenarnya sosok yang ramah, cerdas, sangat menyayangi ibunya dan rajin. Akan tetapi hanya karena kekayaan dan mendapat istri seorang putri dari saudagar kaya sehingga ia lupa pada ibunya dan tidak mau mengakui ibunya sendiri dan menjadi anak durhaka. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:

Malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya.
Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakana ibumu adalah seorang bangsawan sederajat dengan kami?”
Mendengar kata-kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perlakuan anaknya, ia jatuh terduduk sambal berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya pikirannya kacau karena perkataan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambal berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”  (Angelia: 6,7)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sosok Malin kundang durhaka hanya karena merasa malu oleh istrinya, memiliki ibu yang miskin.
2.      Mande Rubayah
Merupakan sosok ibu yang baik dan sangat menyayangi anaknya, ketika suaminya pergi meninggalkannya ia banting tulang mencari nafkah supaya bisa menghidupi anaknya Malin. Dan ketika Malin pergi merantau ia selalu mendo’akan serta selalu mengharap kepulangan Malin. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:

Dengan sebisa-bisanya ia berusaha mengobati Malin. Ia datangkan tabib terkenal untuk mengobati anaknya.

Karena tak ketahuan berita suaminya lagi, maka Mande Rubayah membanting tulang dengan berjulan kue. Setiap hari ia menjajakan ku ke  kampung-kampung. Hasilnya lumayan juga, cukup untuk dimakan ia dan anaknya yang sudah yatim.
Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar.
Ia menengadahkan kedua tangannya ke atas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran.
Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari teman yang pernah merantau ke Malaka, bawa sekarang Malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya. (Angelia: 5,6)

Berdasarkan kutipan di atas dapatlah diketahui bahwa sosok Mande Rubayah adalah seorang ibu yang sangat baik, dan sangat menyayangi anaknya. Akan tetapi karena merasa sakit hati oleh sang anak maka Mande Rubayah mengutuk anaknya sendiri. Seperti tampak pada kutipan di bawah ini:

Tiba-tiba Mande Rubayah mampu berdiri tegak. Entah kekuatan apa yang menyertainya. Sepasang matanya bekilat-kilat, ketika bicara suaranya terdengar lantang.
“Tetapi anak muda …! Jika kau adalah anakku yang ku beri nama Malin Kundang, yang ku kandung selama Sembilan bulan sepuluh hari. Dan ku besarkan dengan cucuran air susuku, maka terkutuklah engkau!”
Semua orang kaget mendengar ucapan wanita renta ini. wanita tua ini kemudian bersimpuh di atas tanah, dengan bersungguh-sungguh ia berdo’a, “Ya Allah Ya Tuhankku, Engkau lebih tahu hukuman apa yang harus Kau berikan kepada anak durhaka ini! anak yang telah mencaci maki ibunya sendiri! Menghina ibu kandung di hadapan istrinya dan orang banyak! Ya Allah tunjukanlah kebesaran-Mu. (Angelia: 8)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sosok seorang ibu yang merasa sakit hati karena perlakuan anaknya sehingga ia berani mengutuk anaknya.
3.      Suami Mande Rubayah
Tidak ada deskripsi khusus mengenai suami Mande Rubayah, akan tetapi sosok suami Mande Rubayah adalah sosok yang sangat menyayangi keluarga kecilnya itu dan sosok suami yang bertanggung jawab dengan mencari nafkah hingga jadi nelayan. Berikut di bawah ini kutipannya:

Di tempat itu suami Mande Rubayah merubah mata pencaharian, dari tukang perambah hasil hutan sekarang menjadi nelayan ikan. Mereka bersyukur karena rejeki datang dengan lancar, hidup mereka tidak lagi sesulit ketika berada di pedalaman.

Pada suatu hari ayahnya pamit berangkat melaut.
“Malin Kundang! Ayah berangkat, hati-hati dirumah bersama Ibu, jangan nakal ya,!” kata sang ayah.
“Ya Ayah, Malin akan baik-baik saja bersama ibu.” Jawab sang anak.
“Istriku… aku berangkat. Jaga Malin baik-baik!”
“Jangan kuatir suamiku, aku akan menjaga anak kita satu-satunya ini dengan jiwa ragaku. Berangkatlah suamiku, do’a kami berdua menyertaimu.” Kata Mande Rubayah. (Angelia: 1)

Berdasarkan kutipan tersebut dapatlah diketahui bahwa watak suami Mande Rubayah itu bertanggung jawab terhadap keluarga dan sangat sayang terhadap keluarganya.
4.      Putri istri Malin Kundang
Tokoh putri ini memiliki watak yang kurang baik, yang tidak bisa menghargai orang yang tidak sederajat dengan keluarganya seperti kepada ibu malin. Berikut di bawah ini kutipannya:

istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
Lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakana ibumu adalah seorang bangsawan sederajat dengan kami?” (Angelia: 7)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui watak tokoh putri yang tidak bisa menghargai ibunya Malin. Hal itu terjadi mungkin karena Malin telah berbohong mengenai keadaan keluarganya yang sebenarnya.
5.      Nakhoda
Tokoh Nakhoda merupakan sosok lelaki tua yang baik dan tidak memiliki anak yang sangat menyayangi Malin. Berikut kutipannya:

Malin menjadi kesayangan sang nakhoda. Walau demikian Malin tidak bermalas-malasan, apa yang harusnya ia kerjakan ia kerjakan di kapal itu tanpa harus menunggu perintah sang nakhoda.
Mengangkut barang-barang berat tidak menjadi masalah baginya.
Lama kelamaan sang nakhoda yang tak punya anak itu menganggap Malin sebagai anaknya sendiri.
Malin diajari tata cara mengemudikan kapal. Ia juga diajari cara berdagang, membawa barang-barang langka dari suatu pulau kemudian dijual di pulau lain dengan harga mahal.
Ketika sang nakhoda berusia lanjut, Malin diangkat sebagai penggantinya. (Angelia: 5)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa watak tokoh nakhoda itu baik dan penyayang.
6.      Burhan dan istrinya
Tokoh Burhan dan istrinya ini merupakan tokoh yang baik dan menyayangi Mande Rubayah ibu Malin, selain itu juga Burhan merupakan teman malin. Akan tetapi Burhan sangat menghargai Mande Rubayah. Seperti dalam kutipan di bawah ini:
Burhan dan istrinya yang merupakan teman Malin semenjak kecil segera mendatangi Mande Rubayah. Mereka memapah Mande Rubayah dengan berjalan tertatih-tatih menuju tepi pantai.
Mande Rubayah yang barusan terkapar dengan susah payah dibantu istri Burhan segera bangkit, “Malin…benarkah kau sudah lupa pada aku ibumu Mande Rubayah? Aku ibu kandungmu Malin!.” (Angelia: 7)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Burhan adalah sosok yang baik dan sangat menghargai Mande Rubayah ibu Malin Kundang.
2.2.2 Latar
Latar merupakan segala sesuatu yang melingkup dalam suatu cerita baik berupa tempat, waktu, suasana maupun peristiwa dari suatu cerita. Dari cerita tersebut penulis menemukan beberapa latar meskipun tidak diuraikan secara jelas diantaranya sebagai berikut:
1.      Latar Tempat
Sebenarnya tidak banyak latar tempat yang diuraikan secara jelas dalam cerita ini hanya ada beberapa latar tempat diantaranya di Tepi Pantai. Untuk lebih jelasnya berikut kutipannya:

… Seringkali ia duduk di tepi pantai sambil merenung.
            “Kalau aku tetap di sini nasibku akan tetap begini.” Demikian pikir Malin Kundang. “Aku tak ingin nasibku tetap seperti ini, Emakku sudah tua. Sebagai seorang anak aku belum pernah berbuat sesuatu untuk menyenangkan hatinya. (Angelia: 3)

Berdasarkan kutipan di atas dapatlah diketahui bahwa latar tempatnya berada di tepi pantai. Selain latar tempat di tepi pantai ada juga latar tempat di kapal berikut di bawah ini kutipannya:
“Betul kau mau bekerja apa saja di kapal ini?”                                       “Betul tuan!”                                                                    Mulai saat itu Malin bekerja sebagai awak kapal dagang. Mula-mula ia bekerja sebagai tukang pembersih geladak kapal. (Angelia: 4)
Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa latar tempatnya adalah dalam sebuah  kapal laut. Latar tempat yang selanjutnya adalah di rumah berikut kutipannya:
“Mande Rubayah yang sudah tua renta terbaring sakit di rumahnya. Burhan dan istrinya yang merupakan teman Malin semenjak kecil segera mendatangi Mande Rubayah”. (Angelia: 6)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar tempat tersebut berada di rumah. Dan latar tempat terakhir yaitu kapal pesiar milik Malin Kundang seperti pada kutipan di bawah ini:
“Di dalam kapal pesiar yang mewah, Malin Kundang Nampak gelisah. Bagaimanapun ia tak bisa membohongi diri sendiri. Ia ngeri membayangkan kutukan ibunya”. (Angelia: 8)
Berdasarkan kutipan tersebut menjelaskan bahwa latar tempatnya berada di kapal pesiar.
2.      Latar Waktu
Tak banyak dijelaskan latar waktu yang terdapat dalam cerita tersebut. Penulis hanya menemukan latar waktu pagi dan sore seperti pada kutipan di bawah ini:

Sementara itu, hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? (Angelia: 5)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar waktunya pagi dan sore.
3.      Latar Suasana
Suasana yang tergambar dalam cerita tersebut adalah mengharukan dan menyedihkan apalagi pada saat Malin Kundang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri dan tega mendorong serta menendang ibu kandungnya, seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Burhan dan istrinya hampir tak percaya melihat kejadian itu. (Angelia: 7)
Berdasarkan kutipan di atas dapat di ketahui bahwa latar suasana yang terdapat dari cerita tersebut adalah sedih dan haru.

2.2.3 Tema
Tema yang terdapat dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” adalah tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Serta kesedihan seorang ibu karena kasih sayang serta pengorbanan yang ia berikan tidak dihiraukan oleh anak kandungnya sendiri, sehingga membuat ia marah dan mengutuk anaknya sendiri.
2.3 Analisis Pragmatik
Analisis pragmatik merupakan sebuah analisis mengenai sudut pandang atau point of view. Yang di dalamnya membahas mengenai kehadiran pencerita/pengarang baik itu yang intern (pengarang berada dalam cerita) ataupun ekstern (pengarang hanya jadi pencerita saja). Berikut ini penjelasannya.

2.3.1 Sudut Pandang
Dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” sudut pandang atau point of view yang digunakan adalah ekstern atau pengarang berada di luar cerita. Hal tersebut terbukti dengan nama tokoh yang digunakan dalam cerita tersebut dan bukan menggunakan tokoh aku. Berikut di bawah ini kutipannya:
Dahulu kala di Padang Sumatra Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang wanita bernama Mande Rubayah.
Sebelumnya Mande Rubayah hidup bersama suaminya di pedalaman. Tetapi hidup mereka di sana kurang beruntung. Agar dapat merubah nasibnya mereka kemudian pindah ke perkampungan nelayan di tepi pantai. (Angelia: 1)

Berdasarkan kutipan di atas terlihatlah bahwa sudut pandang yang digunakan adalah ekstern karena pengarang berada di luar cerita. Selain hal tersebut juga berhubung cerita tersebut adalah legenda yang berkembang dari mulut ke mulut jadi sudah pasti pengarang berada di luar cerita dan menggunakan nama tokoh.


BAB III
ANALISIS STRUKTUR LAKON DRAMA “MALIN-THE END SCENE” KARYA M.S. NUGROHO
1.1  Analisis Sintaksis
Analisis sintaksis merupakan analisis alur dan pengaluran yang dapat memperjelas bagian dalam cerita. Analisis struktur lakon drama “Malin-The End Scene” Kaerya M.S Nugrogo yang merupakan teks transformasinya.
3.1.1    Analisis Alur dan Pengaluran
Untuk mengetahui alur yang terdapat dalam drama “Malin-The End Scene” krya M.S Nugroho penulis akan melakukan analisis alur pada drama ini dengan menggunakan fungsi utama. Berikut fungsi utamanya:
1.      Keadaan laut dengan badainya.
2.      Bunda mengutuk Malin menjadi batu.
3.      Bunda mau bunuh diri karena menyesal telah mengutuk Malin.
4.      Malin terbangun dari kutukannya.
5.      Bunda dan Malin yang melepas kerinduan karena lama tidak bertemu.
6.      Tangisan Malin karena menyesal telah meninggalkan Bundanya.
7.      Ketika nama puteri Sabarini disebut robohlah sebuah batu dan menjadi puteri sabarini.
8.      Malin dan puteri Sabarini bersujud di kaki Bunda.
9.      Seseorang bertanya pada dalang akan jalan ceritanya.
10.  Orang bertanya pada Bunda mengenai kutukannya pada Malin.
11.  Pertengkaran Malin dengan puteri.
12.  Bunda mengutuk dirinya sendiri tapi orang-orang melarang, merekapun berpelukan.
Cerita dalam drama ini diawali dengan deskripsi keadaan laut yang disertai dengan badainya, merupakan penggerak cerita (f.1). Kemudian Bunda mengutuk malin menjadi batu (f.2). Setelah melihat anaknya menjadi batu Bunda menyesal telah mengutuk Malin dan hendak bunuh diri (f.3). Akan tetapi tiba-tiba Malin terbangun dari kutukannya (f.4).
Setelah Malin terbangun dari kutukannya kemudian Malin dan Bunda melepas kerinduan karena lama tak bertemu (f.5). Akan tetapi Malin malah terus menangis karena menyesali perbuatannya yang telah meninggalkan Bundanya (f.6). Kemudian Malin menyebut-nyebut nama putri Sabarini dan ketika nama puteri Sabarini disebut robohlah sebuah batu dan menjadi puteri sabarini (f.7). Malin dan putri Sabarini pun bersujud di kaki Bunda (f.8). Seseorang yang bertanya pada dalang akan jalan ceritanya (f.9). Kemudian orang itupun bertanya pada Bunda mengenai kutukannya pada Malin (f.10). Pertanyaan seseorang yang tadi membuat Malin dan putri Sabarini bertengkar (f.11). Kemudian Bunda mengutuk dirinya sendiri akan tapi orang-orang melarang, merekapun berpelukan (f.12). Untuk lebih jelasnya lagi mengenai alur dan pengaluran pada lakon drama “Malin-The End Scene berikut akan penulis uraikan mengenai bagan fungsi utamanya:
BAGAN FUNGSI UTAMA












 








Berdasarkan bagan di atas dapat diketahui bahwa f.1 menjadi penggerak cerita yang kemudian menyebabkan munculnya f.2, f.3 dan seterusnya hingga akhir cerita. Antara f.1 ke f.2, f.2 ke f.3 dan seterusnya hingga f.12 memiliki hubungan yang kausalitas. Melihat setiap fungsi dalam bagan tersebut jelaslah bahawa lakon drama “Malin” ini beralurkan maju terbukti dengan setiap fungsi yang diletakan berurutan seperti terlihat pada bagan di atas.
1.2  Analisis Semantik
Analisis semantik merupakan analisis yang di dalamnya meliputi; analisis tokoh dan penokohan, analisis latar dan tema. Dengan adanya analisis semantik tersebut maka cerita akan semakin padu. Berikut di bawah ini penjelasannya.
1.2.1         Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah karya sastra. Adapun tokoh dalam lakon drama “Malin-The End Scene” adalah Malin, Bunda, Putri Sabarini, Dalang, Penyanyi dan orang-orang.
1.      Malin
Tokoh Malin dalam lakon “Malin-The End Scene” merupakan sosok anak laki-laki yang dianggap anak durhaka oleh bundanya karena tidak mau mengakui bundanya sebagai ibu kandungnya sendiri. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:
BADAI MENGGERAM, SUARA MALIN TERTAWA LANTANG.
MALIN         
Tidak. Aku tidak punya bunda seperti kau!
BUNDA        
Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak bumi. Nyawamu
tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku, kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku,  kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau, batulah engkau! (Nugroho, 2010:1)
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Malin itu seorang anak yang durhaka yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. Tapi di sisi lain juga Malin itu seorang anak yang baik seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
BUNDA (Tertawa)
Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu kepada istri dan anak buah kau? 
MALIN         
Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA        
Jangan dusta! Katakan dengan jujur!
MALIN         
Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung halaman.  Sebenarnya  kami ke pulau ini memang hendak menjemput Bunda. Tapi...
BUNDA        
Kau malu untuk mengakui bahwa ....
MALIN         
Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri Sabarini, istriku. Aku takut... (Nugroho, 2010:6)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Malin itu anak baik akan tetapi hanya karena mencintai seorang putri dan takut putri itu tidak mau mengakui bundanya sebagai mertuanya makanya Malin tidak mau mengakui bundanya.
2.      Bunda
Tokoh bunda dalam drama “Malin” ini merupakan sosok yang baik dan sangat menyayangi anaknya yaitu Malin akan tetapi sosok bunda ini merupakan sosok yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, yang tiba-tiba mengutuk Malin dan akhirnya merasa menyesal sendiri gara-gara keputusannya sendiri. Berikut kutipannya:
BUNDA        
Malin, dosa apa setan apa. Kau tak kenal bunda sebanyak bumi. Nyawamu
tumbuh dari hembus nafasku. Wajahmu terpahat dari belai kasihku. Darahmu
mengalirkan air susuku. Sudahlah. Jika kau bukan anakku, kembalilah ke
kapalmu. Jika engkau benar anakku,  kembalikan air susuku. Kembalikan.
Jika kau tak mampu, jadilah saja kau batu! Batulah engkau, batulah engkau!
MALIN         
Bunda, benarkah engkau itu Bunda? (Nugroho, 2010:1)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa bunda itu sosok yang terlalu cepat dalam mengambil keputusan tanpa memikirkan penyesalan di akhirnya. Selain kutipan di atas yang menunjukan bunda terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu. Kutipan di bawah ini juga menunjukan bahwa sosok bunda itu merupakan sosok yang baik:
BUNDA        
Tidak, Malin. Bunda maklum kau tak kenal Bunda lagi. Ketika engkau pamit, Bunda masih bugar bersinar. Setelah lewat tiga tahun, Bunda sering sakit dan ladang kita telah tergadai. Kemudian aku mendengar angin berkabar Malin akan berlabuh di pulau ini.  Cepat-cepat aku berangkat. Aku menunggu kau di pantai. Terus saja aku menatap cakrawala. Tanpa rumah berteduh, tanpa air untuk berbasuh, tanpa kilau cermin. Berhari-hari. Kau bisa melihat betapa kacaunya penampilanku (tertawa). (Nugroho, 2010:5)

Berdasarkan kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa sosok bunda itu merupakan sosok yang baik dan sangat menyayangi Malin.
3.      Putri Sabarini
Dalam drama “Malin” ini Putri Sabarini merupakan sosok yang baik dan sangat menghormati bunda, seperti kutipan di bawah ini:
PUTERI          
Malin. Malin. Mengapakah Uda menyebutkan namaku untuk  mendurhakai,  Bunda.  Siapakah malu mengakui kalau sang bunda melarat atau tak waras. Bunda adalah hakikat kehidupan, tak ada sesuatu pun bisa mengubahnya. 
MALIN           
Puteri?
PUTERI          
Aku menyertai Uda adalah untuk mencium kaki Bunda. Siapa pun wanita itu. Aku adalah menantunya. (Nugroho, 2010:6)
Berdasarkan kutipan di atas semakin jelaslah bahwa puteri itu merupakan sosok yang sangat baik dan sangat menghorati Bunda.
Mengenai dalang dan orang-orang yang terdapat dalam drama tersebut tidak diuraikan mengenai wataknya hanya saja dalang itu bertugas sebagai pembawa cerita dan penyanyi hanya menyanyi kemudian orang-orang hanya sebagai tambahan dalam cerita. Jadi tidak ada deskripsi yang menjelaskan secara khusus mengenai watak para tokoh dalang, penyanyi dan orang-orang.
1.2.2        Latar
Latar merupakan segala keterangan yang menunjuk atau berkaitan dengan tempat, waktu maupun suasana. Latar tempat di dalamnya berhubungan lokasi terjadinya peristiwa, latar waktu berhubungan dengan kapan waktu terjadi peristiwa dan latar suasana berhubungan dengan suasana keadaan yang dialami tokoh.
1.      Latar tempat
Tidak banyak latar tempat yang dideskripsikan dalam lakon drama “Malin-The End Scene” ini hanya ada satu yang menggambarkan bahwa keadaan tersebut berada di laut atau tepatnya di pantai. Seperti pada kutipan di bawah ini:
DI LAUTAN. OMBAK BERDEBURAN DAN LANGIT BERKILATAN. KAPAL MEMBATU  DAN ANGIN GEMETARAN. SEKELOMPOK ORANG BERNYANYI LAYAKNYA NELAYAN.
Penyanyi
Cerita membuka luka di balik luka
Pedas dan pedih tiada terasa
Air mata hanyalah hiasan
Hati dan pikiran jadi redam

Jika amarah jadi udara
Mulut menyembur tiada terarah
Tangan menusuk sampai berdarah
Setan dan nafsu menjadi kendara

BADAI MENGGERAM, SUARA MALIN TERTAWA LANTANG. (Nugroho, 2010: 1)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa latar tempat kejadian tersebut adalah di laut tepatnya di pantai.
2.      Latar Waktu
Dalam lakon drama “Malin-The End Scene” ini penulis tidak menemukan adanya latar waktu kejadian setiap ceritanya.
3.      Latar Suasana
Latar suasana yang tergambar dalam drama “Malin” ini adalah suasana haru, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
BUNDA (Menangis)
Tidak, Malin. Tidak. Bunda tidak marah.  (Tersenyum) Apa yang paling  terang dalam hidup ini adalah misterinya. Ketika bapak kau ditelan gelombang dulu kukira memang benar-benar meninggalkan aku. Ternyata tidak. Bapak kau menyisakan cintanya dalam perutku, yaitu kau Malin. Kaulah cahaya dalam hidupku. Kaulah sumber kebahagiaan aku, Malin. Kau ingat lagu yang kita nyanyikan bersama dalam sinar bulan? (Menyanyi) Ketika matahari terang, kita sering bekejar-kejaran di ladang jagung milik kita. Kau sering bersembunyi di balik gundukan tanah. Malin, Malin. Kupanggili kau. Aku cemas mencarimu ke mana-mana. Malin, Malin!
MALIN (Tiba-tiba memeluk punggung BUNDA dan tertawa-tawa)
Malin di sini,  Bunda! (Nugroho, 2010:4)
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan keadaan yang mengharukan antara Bunda dengan Malin.
1.2.3        Tema
Tema dalam lakon drama “Malin-The End Scene” ini adalah seorang anak yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri, akan tetapi sebenarnya ia menyayangi ibundanya. Hanya karena takut sang puteri merasa malu jadi ia tidak mau mengakui ibu kandungnya. Kemudian seorang ibu yang dinilai terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, sehingga menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam karena telah mengutuk anaknya sendiri. Di dalam drama ini tersimpan satu amanat yaitu semarah-marahnya seorang ibu terhadap anaknya tetapi tetap pada akhirnya akan memaafkan dan akan tetap sayang juga.
1.3  Analisis Pragmatik
Analisis pragmatik merupakan sebuah analisis mengenai sudut pandang atau point of view. Yang di dalamnya membahas mengenai kehadiran pencerita/pengarang baik itu yang intern (pengarang berada dalam cerita) ataupun ekstern (pengarang hanya jadi pencerita saja). Berikut ini penjelasannya.
1.3.1        Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view yang digunakan pengarang dalam drama “Malin-The End Scene” ini adalah ekstern atau pengarang berada di luar cerita, pengarang hanya jadi pencerita dan tidak ikut berperan dalam ceritanya. Hal tersebut terbukti dengan pengarang tidak menggunakan tokoh aku dalam dramanya melainkan menggunakan nama tokoh dalam dramanya. Seperti tokoh Malin, Bundan dan sebagainya. Berikut kutipannya:
BUNDA (Tertawa)
Andai saja kau tahu aku bunda kau, apakah kau tidak malu kepada istri dan anak buah kau? 
MALIN         
Kayakmana aku bisa malu, Bundalah yang melahirkan aku.
BUNDA        
Jangan dusta! Katakan dengan jujur!
                        MALIN         
Tiada pelabuhan yang paling tenang, kecuali kampung halaman.  Sebenarnya  kami ke pulau ini memang hendak menjemput Bunda. Tapi...
BUNDA        
Kau malu untuk mengakui bahwa ....
                        MALIN         
Jiwaku tidak sebesar itu, Bunda. Aku sangat mencintai Puteri Sabarini,  istriku. Aku takut... (Nugroho, 2010:6)
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa pengarang menyebutkan nama tokoh bukan dengan sebutan tokoh aku.

BAB IV
JENIS TRANSFORMASI DALAM DRAMA MALIN-THE END SCENE KARYA M.S. NUGROHO
Perubahan dari legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” ke dalam lakon drama “Malin-The End Scene” melalui beberapa bentuk transformasi yaitu afirmasi, restorasi, parodi dan negasi. Afirmasi adalah bentuk transformasi teksnya sama dengan teks yang mendahuluinya. Restorasi adalah perubahan terbatas dari teks yang mendahuluinya. Parodi adalah perubahan dari bentuk semula dikemas menjadi cerita lucu. Negasi yaitu teks transformasinya itu berbeda jauh dengan teks yang mendahuluinya atau bertentangan dengan teks aslinya.
Setelah kita perhatikan dan melakukan analisis dari teks drama “Malin-End The Scene” ternyata mengalami beberapa trasnformasi dari teks terdahulunya yaitu legenda “Malin Kundang Anak Durhaka”. Alasan pengarang menciptakan kembali karya tersebut adalah karena pengarang menginginkan ada perubahan pada cerita Malin Kundang. Seperti dari kesedihan diubah menjadi kebahagiaan kemudian yang biasanya Malin yang durhaka dan dikutuk tapi dalam cerita ini Malin bangkit dari kutukannya, malah bundanya yang mengutuk dirinya sendiri meskipun tidak jadi. Berikut kutipannya:
ORANG (Kepada DALANG)
Pak Tua, mengapa ceritanya jadi begini?
DALANG       
Mengapa? Kalian tidak suka ada kebahagiaan dalam cerita Malin  Kundang?  
ORANG          
Tidak. Kami tidak bermaksud demikian. Kami hanya bertanya.
DALANG       
Saya memang pembawa cerita. Tapi bukan berarti saya harus memaksa para pemain mengikuti pola yang telah ada. Kalau kalian ingin tahu  alasannya, tanyakan saja kepada pemerannya sendiri. (Nugroho, 2010:7)

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa lakon drama “Malin-The End Scene” ini memang diciptakan untuk menghibur para pembaca yang di dalam kisahnya mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan.
4.1  Alur dan Pengaluran
Setelah penulis melakukan analisis pada teks lakon drama “Malin-The End Scene” ternyata mengalami perubahan parodi yaitu perubahan dari bentuk semula yang dikemas menjadi cerita lucu. Dari teks legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” dan “Malin-The End Scene” terdapat beberapa persamaan dan perbedaan cerita  di dalamnya. Persamaan ceritanya yaitu pada lakon drama “Malin-The End Scene” setelah sekian lama Malin merantau akhirnya Malin menjadi saudagar kaya raya dan menikah dengan seorang puteri, ketika berlabuh di suatu pantai Malin bertemu dengan bundanya tapi Malin tidak mau mengakui bundanya tersebut sebagai ibu kandungnya sendiri akhirnya Malin pun dikutuk menjadi batu oleh bundanya.
Adapun perbedaannya yaitu pada teks cerita “Malin Kundang Anak Durhaka” ceritanya dari awal Malin Kundang kecil sampai meranatau ke suatu pelabuhan dan menjadi seorang saudagar kaya raya  hingga akhirnya menikah dengan puteri saudagar kaya raya. Dan pada saat bertemu ibunya Malin Kundang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri hingga akhirnya ibu kandungnya mengutuknya karena Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya. Sedangkan pada teks drama “Malin-The End Scene” ceritanya langsung dari akhir sesuai dengan judul drama tersebut, yaitu awal ceritanya Malin dikutuk menjadi batu oleh bundanya akan tetapi setelah Malin berubah wujud menjadi batu bundanya Malin menjadi sangat menyesal dan memohon kepada Malin supaya terbangun dari kutukannya jika tidak maka bundanya mengutuk dirinya sendiri dan hendak bunuh diri. Akhirnya Malin pun terbangun dari kutukannya dan melepas rindu bersama bundanya. Kemudian Malin beserta istrinya Puteri sabarini mencium kaki bundanya Malin. Tiba-tiba seseorang menanyakan jalan ceritanya yang berbeda dari cerita yang sesungguhnya, bertanya kepada bunda, kepada Malin dan terakhir kepada Puteri. Pada saat bertanya pada puteri malah membuat puteri dengan Malin bertengkar tapi bunda malah hendak bunuh diri dan terus mengutuk dirinya sendiri tapi pada akhirnya bunuh dirinya pun tidak jadi dan merekapun berpelukan.
Selain hal tersebut, konflik yang terjadi dari kedua teks tersebut sedikit berbeda. Jika pada teks cerita “Malin Kundang Anak Durhaka” konflik yang terjadi itu pada saat Malin tidak mau mengakui bundanya sebagai ibu kandungnya, tapi sedikit berbeda dengan lakon drama “Malin-The End Scene”. Pada lakon drama “Malin-The End Scene” konflik yang terjadi itu pada saat seseorang bertanya kepada bunda mengenai sebab bunda mengutuk Malin menjadi batu selain itu juga pada saat seseorang itu bertanya kepada puteri yang berujung pertengkaran antara puteri dengan Malin.
4.2  Tokoh dan Penokohan
Berdasarkan kedua teks cerita yaitu antara “Malin Kundang Anak Durhaka” dengan lakon drama “Malin-The End Scene” jika di bandingkan tokoh-tokohnya, maka jenis transformasi yang terdapat di dalamnya yaitu restorasi atau perubahan terbatas dari teks yang mendahuluinya. Seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
No
Legenda Malin Kundang Anak Durhaka
Lakon Drama Malin-The End Scene
1.
Malin Kundang
Malin
2.
Mande Rubayah
Bunda
3.
Suami Mande Rubayah
-
4.
Putri
Putri Sabarini
5.
Nakhoda
-
6.
Burhan
-
7.
Istri Burhan
-
8.

Dalang
9.

Penyanyi
10.

Orang-orang

Berdasarkan tabel tersebut dapat jelas terlihat bahwa tokoh yang terdapat dalam legenda “Malin  Kundang Anak Durhaka” tidak terlalu berbeda jauh dengan tokoh yang terdapat dalam lakon drama “Malin-The End Scene” hanya namanya saja yang berbeda akan tetapi memiliki kedudukan yang sama kecuali dari pemeran tambahan seperti Nakhoda, Burhan dan istri Burhan yang terdapat dalam cerita Malin Kundang Anak Durhaka sedangkan Dalang, Penyanyi dan orang-orang itu tambahan dalam lakon drama “Malin-The End Scene”. Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan dalam drama “Malin-The End Scene” mengalami perubahan akan tetapi perubahan yang terbatas.
4.3  Latar
Setelah penulis melakukan analisis mengenai latar dari kedua teks cerita yaitu cerita “Malin  Kundang Anak Durhaka” dengan lakon drama “Malin-The End Scene” maka penulis menemukan perbedaannya yang terdapat di keduanya seperti yang akan penulis uraikan melalui tabel berikut ini:
No
Malin Kundang Anak Durhaka
Malin-The End Scene
Latar Tempat
Latar Waktu
Latar Tempat
Latar Waktu
1.
Tepi Pantai
Pagi dan sore
Di Laut
-
2.
Kapal

-

3.
Di Rumah

-

4.
Kapal Pesiar

-


Setelah kita perhatikan tabel tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa latarnya sama yaitu di sekita laut hanya saja jika dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” latar tempatnya lebih banyak dibandingkan dalam drama “Malin-The End Scene” mungkn hal tersebut karena “Malin-The End Scene” itu jenisnya drama. Dengan  demikian, maka transformasi yang terjadi pada latar ini adalah transformasi retorasi atau terjadi perubahan yang terbatas.

4.4  Tema
Setelah penulis analisis dapatlah diketahui bahwa bentuk transformasi yang terdapat dalam tema adalah parodi yaitu perubahan dari bentuk semula yang dikemas secara lucu. Di dalamnya sama-sama mengenai kutukan seorang ibu terhadap anak laki-lakinya yang durhaka akan tetapi jika pada lakon drama “Malin-The End Scene” dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi lucu. Dimana anak atau tepatnya si Malin yang telah dikutuk setelah ibunya menyesali kutukannya itu akhirnya si Malinnya bangkit dan hidup kembali.
4.5  Sudut Pandang
Berdasarkan kedua teks ini yaitu teks legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” dan lakon drama “Malin-The End Scene” meskipun jenisnya berbeda yaitu antara legenda dan drama akan tetapi memiliki point of view atau sudut pandang yang sama yaitu sama-sama ekstern atau pengarang menempatkan dirinya di luar cerita dan sama sekali tidak ada di dalam cerita. Dengan demikian bentuk transformasi sudut pandang pada cerita ini adalah afirmasi yaitu sama dengan teks yang mendahuluinya.
BAB V
SIMPULAN
5.1 Simpulan
Setelah penulis melakukan analisis pada legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” dengan lakon drama “Malin-The End Scene” pada dasarnya ceritanya sama, hanya ada beberapa hal yang membedakan seperti dari tokoh dan penokohan, latar maupun tema.
Alur dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” adalah alur mundur yakni cerita diawali dengan deskripsi “pada zaman dahulu”. Cerita baru dimulai ketika Mande Rubayah dengan suaminya yang merupakan orang tua Malin Kundang pindah dan mengganti mata pencahariannya menjadi nelayan. Kemudian suami Mande Rubayah pergi melaut dan tak kunjung pulang. Pada saat Malin Kundang dewasa dia meminta ijin kepada Mande Rubayah untuk pergi merantau, meski berat akhirnya Mande Rubayah mengijinkan Malin Kundang pergi merantau. Di perantauan Malin Menjadi sosok yang disukai oleh sang Nakhoda dan ia dijadikan anak oleh sang nakhoda itu. Setelah sekian lama ia bekerja, akhirnya Malin Kundang menjadi seorang kaya raya dan menikah dengan seorang putri anak seorang kaya raya pula. Pada saat Malin Kundang pergi berkunjung ke kampung halamannya ia bertemu dengan Mande Rubayah yang merupakan ibu kandungnya, akan tetapi Malin Kundang tidak mau mengakui Mande Rubayah sebagai ibu kandungnya malah ia menendangnya dan mengusirnya. Akhirnya Mande Rubayah mengutuk Malin Kundang. Pada saat Malin Kundang di perjalanan pulang, tiba-tiba diserang badai yang sangat dahsyat dan ia pun beserta kapal yang ia tumpangi hancur terhempas badai. Ketika di pagi hari di pesisir pantai Nampak terlihat bongkahan batu yang menyerupai manusia, konon itulah batu Malin Kundang si Anak durhaka.
Dalam legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” di dalamnya terdapat beberapa tokoh yang menjadi pemeran dalam cerita tersebut diantaranya Malin Kundang sosok anak durahaka kemudian Mande Rubayah, Suami Mande Rubayah, putri yang merupakan istrinya Malin Kundang, nakhoda, Burhan dan istrinya yang merupakan sahabat kecil Malin Kundang.
Kemudian dalam “Malin Kundang Anak Durhaka” terdapat beberapa latar yang tergambar di dalamnya, baik itu latar tempat maupun latar waktu. Seperti di tepi pantai, kapal tempat Malin bekerja, di rumah dan di kapal pesiar milik Malin Kundang. Adapun latar waktu yaitu penulis hanya menemukan latar waktu pagi dan sore saat Mande Rubayah berdoa di tepi pantai.
Tema yang terkandung di dalamnya adalah tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Serta kesedihan seorang ibu karena kasih sayang serta pengorbanan yang ia berikan tidak dihiraukan oleh anak kandungnya sendiri, sehingga membuat ia marah dan mengutuk anaknya sendiri.
Legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” menggunakan sudut pandang ekstern atau pengarang berada di luar cerita.
Yang berikutnya adalah lakon drama “Malin-The End Scene” awal ceritanya adalah ketika bunda mengutuk Malin akan tetapi setelah Malin menjadi batu bunda merasa menyesal dan mengutuk dirinya sendiri bahkan lebih dari itu bunda malah hendak membunuh dirinya sendiri. Tiba-tiba Malin terbangun dari kutukannya dan melepaskan rindu bersama bundanya. Kemudian Malin menyebut-nyebut nama putri Sabarini di depan bundanya dan satu bongkahan batu berubah menjadi putri Sabarini dan akhirnya merekapun bersujud di kaki bundanya. Tiba-tiba seseorang bertanya kepada bunda tentang alasan bunda mengutuk Malin dan bertanya pula kepada putri Sabarini tentang bertahankah putri Sabarini pada Malin. Akan tetapi malah menjadi pertengkaran antara Malin dan Putri Sabarini, bunda pun merasa tersinggung akan pertanyaan orang itu. Tidak lama kemudian ada orang yang melerai dan akhirnya merekapun berpelukan.
Adapun tokoh yang terdapat dalam lakon drama  “Malin-The End Scene” adalah Malin, Bunda, Putri Sabarini, Dalang, Penyanyi dan Orang-orang.Hanya terdapat satu latar dalam lakon drama “Malin-The End Scene” ini yaitu di laut. Dan dalam drama ini penulis tidak menemukan adanya latar waktu.
Kemudian lakon drama “Malin-The End Scene” bertemakan tentang seorang anak yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri, akan tetapi sebenarnya ia menyayangi ibundanya. Hanya karena takut sang puteri merasa malu jadi ia tidak mau mengakui ibu kandungnya. Kemudian seorang ibu yang dinilai terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, sehingga menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam karena telah mengutuk anaknya sendiri.
Sudut pandang dalam lakon drama “Malin-The End Scene” sama dengan sudut pandang legenda “Malin Kundang Anak Durhaka” yaitu pengarang menempatkan dirinya di luar cerita. Atau pengarang hanya jadi pencerita saja dan tidak ikut terlibat di dalam ceritanya.
Alur dan pengaluran dari kedua teks tersebut mengalami perubahan parodi yaitu perubahan yang dikemas menjadi cerita yang lucu. Jika pada cerita “Malin Kundang Anak Durhaka” Malin Kundang dikutuknya di akhir cerita akan tetapi jika pada lakon drama “Malin-The End Scene” tokoh Malin dikutuknya di awal cerita dan tokoh Malinnya bisa bangkit lagi dari kutukannya.
Transformasi yang terjadi pada tokoh, latar dan tema pada lakon drama “Malin-The End Scene” adalah restorasi karena ada beberapa perubahan yang terbatas dari cerita terdahulunya. Dan transformasi pada sudut pandang adalah afirmasi karena pengarang sama-sama menempatkan dirinya di luar cerita dan hanya sebatas pencerita saja. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai jenis transformasi pada lakon drama “Malin-The End Scene” dapat dilihat dari tabel berikut ini:
No
Drama “Malin-The End Scene”
Jenis Transformasi
1.
Alur dan Pengaluran
Parodi
2.
Tokoh dan Penokohan
Restorasi
3.
Latar
Restorasi
4.
Tema
Restorasi
5.
Sudut Pandang
Afirmasi

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa transformasi yang terjadi pada lakon drama “Malin-The End Scene” pada alur dan pengaluran transformasi yang terjadi adalah parodi kemudian jika pada tokoh dan penokohan, latar, dan tema transformasi yang terjadi adalah restorasi dan terakhir pada sudut pandang transformasi yang terjadi adalah afirmasi.
5.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca serta bisa menjadi referensi bagi pembaca yang akan melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan intertekstual.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin.2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:Sinar Baru Algensindo.
Redaksi PM. 2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Depok:Pustaka Makmur.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2012. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta:Nobel Edumedia.
Angelia, Yustitia. Tanpa Tahun. Legenda Malin Kundang. Jakarta:Bintang Indonesia.
Nugroho, M.S. 2011. Malin The End Scene. [online]. Tersedia: http://bandarnaskah.Com [23 Oktober 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar