Minggu, 29 November 2015

Penilaian terhadap Novel Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay



Nama : Siti Apipah
NIM : 3131311030
Mata kuliah : Sejarah Sastra
Dosen pengampu : David Setiadi, M.Hum.
Tugas : Memberi penilaian terhadap Novel Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay
Novel Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay, novel ini sangat bagus sekali, dan menarik akan tetapi bahasanya sulit dipahami. Selain itu juga cerita di dalamnya sangat unik apalagi kisah cintanya yang menarik bila di perhatikan, yang paling penting kisahnya yang berliku dan bersejarah. Pada bab-bab awal dalam membacanya mungkin akan sedikit kesulitan dalam memahami makna setiap kalimatnya. Itu di sebabkan oleh bahasa yang digunakan dalam novel ini adalah bahasa melayu pasar atau bahasa melayu rendah. Kisah cinta dalam novel ini lumayan berbelit-belit dan berliku. meskipun demikian, terdapat beberapa simbol yang mengandung arti. Kemudian kisah didalamnya ada yang bernilai bernilai positif dan ada juga yang bernilai negatif.
Yang pertama yaitu kata Nyai, sebutan nyai itu adalah panggilan bagi anak perempuan yang dewasa di daerah Jawa. Akan tetapi, yang dimaksud nyai dalam novel Bunga Roos dari Cikembang itu adalah nyai peliharaan, gundik atau selir biasanya nyai disini suka mengurus urusan rumah tangga seperti layaknya seorang pembantu akan tetapi lebih dari itu, seorang nyai biasanya selain mengurus urusan rumah tangga juga melayani sang tuan atau majikan (laki-laki). Seorang nyai memang termasuk kategori beruntung ketika pada masanya, dan juga secara ekonomis memang tinggi derajatnya akan tetapi rendah dalam hal moral. Setinggi-tingginya derajat seorang nyai, tapi tetap saja nyai dan di pandang rendah karena prilakunya. Nyai itu identik dengan wanita simpenan pada masa kolonial belanda. Begitupun dalam novel ini, di dalam novel ini di kisahkan seorang nyai yaitu bernama Nyai Marsiti. Ia sangat dicintai oleh juragannya (tuannya) yaitu Ay Tjeng bangsa Tionghoa. Begitupun Marsiti, Ia sangat mencintai Ay Tjeng. Tetapi cinta mereka tidak akan pernah bersatu, karena Marsiti itu adalah seorang nyai dan bangsa pribumi, pada masa itu tidak boleh yang namanya bangsa pribumi menikah dengan bengsa Tionghoa. Apalagi seperti dalam cerita ini, yang mana ayah Ay Tjeng sudah menjodohkannya dengan anak saudagar kaya yang bernama Lio Keng Djim dan putrinya bernama Gwat Nio. Lio Keng Djim seorang pemilik perkebunan karet tempat Ay Tjeng bekerja. Tentu saja Oh Pin Lo/ayah Ay Tjeng sangat setuju jika Ay Tjeng menikah dengan Gwat Nio, karena menurutnya itu sangat menguntungkan baginya dan bisa membantu kesejahteraan keluarganya. Dari dulu hingga sekarang pemikiran orang Tionghoa adalah bisnis, jadi dalam hal pernikahan pun seperti itu. Sebenarnya kisah perjodohan itu bukanlah bisnis akan tetapi menurut Oh Pin Lo jika Ay Tjeng menikah dengat Gwat Nio itu akan membantu kesetabilan ekonomi keluarganya.
Kemudian dalam cerita tersebut sebenarnya pengarang ingin memusnahkan anggapan masyarakat tentang nyai yang dipandang kurang begitu baik dan identik dengan wanita simpenan. Terbukti dengan memunculkannya tokoh Marsiti, yang baik dan penuh dengan pengorbanan. Dengan cerita seperti itu dapat tergambarkan bahwa seorang nyai itu tak selamanya memiliki perangai buruk dan latar belakang yang buruk.
Nilai moral, jaman dahulu mungkin tidak jadi masalah jika seorang wanita tinggal satu rumah dengan seorang lelaki yang bukan muhrim, bahkan sudah menjadi tradisi, contohnya dalam novel itu kisah Ay Tjeng sang juragan yang terjerat cinta dengan marsiti seorang nyai atau selir, Yang dari buah cinta mereka melahirkan Roosminah. Hal yang sama juga terjadi pada Liok Keng Djim yang terjerat cinta dengan Mina yang kemudian menghasilkan Marsiti. Jika itu terjadi di jaman sekarang jelas itu tidak bermoral dan di larang.
Nilai sosial, jelas terlihat perbedaan antara bangsa pribumi dengan bangsa Tionghoa. Setinggi-tingginya bangsa pribumi tetap saja tidak diperbolehkan menikah dengan bangsa Tionghoa pada masanya apalagi itu seorang Nyai. Terdapat perbedaan kasta dalam hal itu.
Nilai budaya, yang di gambarkan dalam novel Bunga Roos dari Cikembang itu tentang keindahan alam pada masa itu kemudian cara berpakaian yang di gambarkan bahwa perempuan pribumi selalu mengenakan kebaya dengan sarung, yang identik dengan gemulai serta parasnya ayu.
Nilai agama, ada terdapat beberapa kutipan dalam novel Bunga Roos dari Cikembang yang isinya menyangkut dengan Sang Penguasa dan Sang Pencipta. Diantaranya pada saat Lily meninggal dan keputusan terakhir yang paling bijak adalah menyerahkan segalanya pada tuhan. Serta dalam cerita ini tidak hanya dilihat dari satu sisi Agama melainkan terdapat beberapa kutipan yang mencerminkan agama-agama lain seperti membakar dupa dan sebagainya
Kepatuhan dan ketaatan Marsiti terhadap Ay Tjeng merupakan suatu hal yang mengagumkan tidak banyak orang bisa berprilaku seperti Marsiti, hingga akhir hayatnya Ia tetap menjaga perasaannya terhadap Ay Tjeng. Dan ending dari cerita ini sangat mengharukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar